Sabtu, 10 Oktober 2009

INFO HALAL

TELITI SEBELUM MAKAN / MINUM
SILAHKAN CHECK SERTIFIKASI KEHALALANNYA PADA :

www.halalguide.info
www.direktorihalal.com

Jumat, 09 Oktober 2009

MUI: Waspada Kehalalan Roti BreadTalk

Selasa, 08/04/2008 09:03 WIB
MUI: Waspada Kehalalan Roti BreadTalk
Arry Anggadha - detikNews
Jakarta - Kehalalan roti BreadTalk kembali dipermasalahkan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta kepada masyarakat untuk kembali mewaspadai kehalalan produk roti tersebut.

"Kami mengimbau kepada masyarakat luas untuk tetap berhati-hati terhadap kehalalan produk BreadTalk sapai ada kepastian status halalnya," kata Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI Nadratuzzaman Hosen dalam keterangan yang diterima detikcom, Selasa (8/4/2008).

Nadratuzzaman menjelaskan, BreadTalk sebenarnya sudah mendapatkan sertifikat halal dari MUI pada 22 September 2005. Sertifikat halal itu berlaku hingga 22 September 2007.

"Sejak berakhirnya masa berlaku sertifikat halal tersebut, kami sudah melayangkan surat agar segera memperpanjangnya dan dites kehalalannya oleh MUI. Namun sampai saat ini kami belum menerima balasan surat itu dan tidak ada niat baik perusahaan tersebut untuk memperpanjang sertifikat halalnya," bebernya.

Atas dasar itu, lanjut Nadratuzzaman, kehalalan BreadTalk pun diragukan. "Kami menyesalkan manajemen PT Talkindo Selaksa Anugerah (produsen Breadtalk) yang tidak mengindahkan surat kami dan tidak mengindahkan aspirasi umat islam yang menanyakan staus kehalalannya," pungkasnya.
(ary/yid)

Senin, 14 September 2009

Fatwa Seputar Zakat Profesi

Zakat Gaji
Soal:Berkaitan dengan pertanyaan tentang zakat gaji pegawai. Apakah zakat itu wajib ketika gaji diterima atau ketika sudah berlangsung haul (satu tahun)?
Jawab:Bukanlah hal yang meragukan, bahwa di antara jenis harta yang wajib dizakati ialah dua mata uang (emas dan perak). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada jenis-jenis harta semacam itu, ialah bila sudah sempurna mencapai haul. Atas dasar ini, uang yang diperoleh dari gaji pegawai yang mencapai nishab, baik dari jumlah gaji itu sendiri ataupun dari hasil gabungan uangnya yang lain, sementara sudah memenuhi haul, maka wajib untuk dizakatkan.
Zakat gaji ini tidak bisa diqiyaskan dengan zakat hasil bumi. Sebagai persyaratan haul (satu tahun) tentang wajibnya zakat bagi dua mata uang (emas dan perak) merupakan persyaratan yang jelas berdasarkan nash. Apabila sudah ada nash, maka tidak ada lagi qiyas.
Berdasarkan itu maka tidaklah wajib zakat bagi uang dari gaji pegawai sebelum memenuhi haul.
Lajnah Da’imah lil al Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta’
Ketua:Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah
Wakil ketua Lajnah:Syaikh Abdur razaq Afifi rahimahullah
Anggota:Syaikh Abdullah bin GhudayyanSyaikh Abdullah bin Mani’
Soal:Saya seorang pegawai di sebuah perusahaan swasta dalam negeri. Gaji saya setiap bulan sebesar empat ribu riyal saudi. Termasuk uang sewa rumah sebesar seribu riyal Saudi. Apakah saya wajb mengeluarkan zakat harta? Jika wajib, berapakah jumlahnya? Perlu diketahui, bahwa tidak ada pemasukan sampingan bagi saya, kecuali gaji tersebut.
Jawab:Apabila anda telah memiliki kecukupan atau kelebihan dari gaji bulanan Anda tersebut, maka wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai nishab. Yaitu sekitar empat ratus riyal Saudi. Hal itu jika jumlah nishab tersebut telah berlalu satu haul (satu tahun). Apabila anda menyisihkan sejumlah uang dari gaji bulanan untuk ditabung, maka yang terbaik dan paling selamat adalah Anda mengeluarkan zakat dari uang yang Anda tabung itu pada bulan tertentu setiap tahunnya. Jumlahnya adalah dua setengah persen dari harta yang dimiliki. Semoga Allah memberi taufik kepada kita. (Fatwa Syaikh Bin Jibrin).
Zakat dari Gaji yang Sering Terpakai
Soal:Apabila seorang muslim menjadi pegawai atau pekerja yang mendapat gaji bulanan tertentu, tetapi ia tidak mempunyai sumber penghasilan lain. Kemudian dalam keperluan nafkahnya untuk beberapa bulan, kadang menghabiskan gaji bulanannya. Sedangkan pada beberapa bulan lainnya kadangmasih tersisa sedikit yang disimpan untuk keperluan mendadak (tak terduga). Bagaimanakah cara orang ini membayarkan zakatnya?
Jawab:Seorang muslim yang dapat terkumpul padanya sejumlah uang dari gaji bulanannya ataupun dari sumber lain, bisa berzakat selama sudah memenuhi haul, bila uang yang terkumpul padanya mencapai nishab. Baik (jumlah nishab tersebut berasal) dari gaji itu sendiri ataupun ketika digabungkan dengan uang lain, atau dengan barang dagangan miliknya yang wajib dizakati.
Tetapi, apabila ia mengeluarkan zakatnya sebelum uang yang terkumpul padanya memenuhi haul, dengan niat membayarkan zakatnya di muka, maka hal itu merupakan hal yang baik saja Insya Allah.
Lajnah Da’imah lil al Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta’
Ketua:Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah
Wakil ketua Lajnah:Syaikh Abdur razaq Afifi rahimahullah
Anggota:Syaikh Abdullah bin GhudayyanSyaikh Abdullah bin Qu’ud
Zakat Harta dari Sumber yang Berbeda-Beda
Soal:Bagaimana seorang muslim menzakati harta yang diperolehnya dari gaji, upah, hasil keuntungan dan harta pemberian? Apakah harta-harta itu digabungkan dengan harta-harta lain miliknya? Lalu ia mengeluarkan zakatnya pada saat masing-masing harta tersebut mencapai haul? Ataukah ia mengeluarkan zakatnya pada saat ia memperoleh harta itu jika telah mencapai nishab harta itu sendiri, atau jika digabung dengan harta lain miliknya, tanpa menggunakan syarat haul?
Jawab:Dalam hal ini, di kalangan ulama terjadi dua pendapat. Menurut kami, yang rajih (kuat) ialah setiap kali ia memperoleh tambahan harta, maka tambahan harta itu digabungkan pada nishab yang sudah ada padanya (Maksudnya tidak setiap harta tambahan dihitung berdasarkan haulnya masing-masing, pent).
Apabila sudah memenuhi haul (satu tahun) dalam nishab tersebut, ia harus mengeluarkan zakat dari nishab yang ada beserta tambahan harta hasil gabungannya.
Tidak disyaratkan masing-masing harta tambahan yang digabungkan dengan harta pokok itu harus memenuhi haulnya sendiri-sendiri. Pendapat yang tidak seperti ini, mengandung kesulitan yang amat besar. Padahal di antara kaidah yang ada dalam Islam adalah:
“……Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan……” (Qs. al Hajj: 78)
Sebab, seseorang – terutama jika seseorang itu memiliki banyak harta atau pedagang – akan harus mencatat tambahan nishab setiap harinya, misalnya: hari ini datang kepadanya jumlah uang sekian. Dan itu dilakukan sambil menunggu hingga berputar satu tahun. Demikian seterusnya…, tentu hal itu akan sangat menyulitkan. (Fatwa Syaikh al Bani dari majalah as Shalah no. 5/15 Dzulhijjah 1413 dalam rubrik soal-jawab)
Soal:
1) Seorang pegawai, gaji bulanannya diberikan secara tidak tetap. Kadang pada bulan tertentu diberikan kurang dari semestinya, pada bulan lain lebih banyak. Sementara, gaji yang diterima pertama kali sudah mencapai haul (satu tahun). Sedangkan sebagian gaji yang lain belum memenuhi haul (satu tahun). Dan ia tidak mengetahui jumlah gaji (pasti) yang diterimanya setiap bulan. Bagaimana cara ia menzakatkannya?
2) Seorang pegawai lain menerima gaji bulanannya setiap bulan. Pada setiap kali menerima gaji, ia simpan di lemarinya. Dia memenuhi kebutuhan belanja dan tuntutan rumah tangganya dari uang yang ada di lemari simpanannya ini setiap hari, atau pada waktu-waktu yang berdekatan, akan tetapi dengan jumlah yang tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan. Bagaimana cara mengukur haul dari apa yang ada di lemari? Dan bagaimana pula cara mengeluarkan zakat dalam kasus ini? Padahal sebagaimana telah diterangkan di muka, proses pemenuhan gaji (yang kemudian disimpan sebagai persediaan harian), tidak semuanya sudah berjalan satu tahun?
Jawab:Karena pertanyaan pertama dan kedua mempunyai satu pengertian dan juga ada kasus-kasus senada, maka Lajnah Da’imah (lembaga fatwa ulama di Saudi Arabia), memandang perlu memberikan jawaban secara menyeluruh, supaya faidahnya dapat merata.
Barangsiapa yang memiliki uang mencapai nishab (ukuran jumlah tertentu yang karenanya dikenai kewajiban zakat), kemudian memiliki tambahannya berupa uang lain pada waktu yang berbeda-beda, dan uang tambahannya itu tidak berasal dari sumber uang pertama dan tidak pula berkembang dari uang pertama, tetapi merupakan uang dari penghasilan terpisah (seperti uang yang diterima oleh seorang pegawai dari gaji bulanannya, ditambah uang hasil warisan, hi ah atau hasil bayaran dari pekarangan umpamanya).
Apabila ia ingin teliti menghitung haknya dan ingin teliti untuk tidak membayarkan zakat kepada yang berhak kecuali menurut ukuran harta yang wajib dizakatkan, maka ia harus membuat daftar perhitungan khusus bagi tiap-tiap jumlah perolehan dari masing-masing bidang dengan menghitung masa haul(satu tahun), semenjak hari pertama memilikinya. Selanjutnya, ia keluarkan zakat dari setiap jumlah masing-masing, pada setiap kali mencapai haul (satu tahun) semenjak tanggal kepemilikian harta tersebut.
Namun, apabila ia ingin enak dan menempuh cara longgar serta lapang diri untuk lebih mengutamakan pihak fuqara dan golongan penerima zakat lainnya, ia keluarkan saja zakat dari seluruh gabungan uang yang dimilikinya, ketika sudah mencapai haul (satu tahun) dihitung sejak nishab pertama yang dicapai dari uang miliknya. Ini lebih besar pahalanya, lebih mengangkat kedudukannya, lebih memberikan rasa santainya dan lebih menjaga hak-hak fakir miskin serta seluruh golongan penerima zakat.
Sedangkan jika uang yang ia keluarkan berlebih dari jumlah (nishab), uang yang sudah sempurna haulnya, dihitung sebagai uang zakat yang dibayarkan di muka bagi uang yang belum mencapai haul.
Lajnah Da’imah li al Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta’
Wakil ketua Lajnah:Syaikh Abdur razaq Afifi rahimahullah
Anggota:Syaikh Abdullah bin GhudayyanSyaikh Abdullah bin Mani’
Zakat dari Harta yang disiapkan untuk Pernikahan (Suatu Keperluan)
Soal:Saya adalah seorang pegawai di salah satu kantor pemerintahan (pegawai negeri). Setiap bulan saya menerima gaji sebesar empat ribu riyal. Dalam waktu kurang lebih satu tahun, saya telah mengumpulkan uang sebanyak tujuh belas ribu riyal. Saya simpan uang tersebut di sebuah bank syari’at. Pada bulan Syawal, uang itu akan saya gunakan untuk biaya pernikahan- Insya Allah. Bahkan, saya terpaksa meminjam uang berkali-kali lebih banyak dari jumlah tabungan saya itu untuk keperluan acara pernikahan. Pertanyaan saya, apakah uang tabungan saya sebesar tujuh belas ribu riyal itu harus dibayarkan zakatnya? Sebagaimana dimaklumi, uang tersebut telah berlalu satu haul. Jika wajib dikeluarkan, berapakah jumlahnya?
Jawab:Anda wajib mengeluarkan zakat dari uang tabungan anda itu. Sebab telah berlalu satu haul atasnya. Sekalipun anda menyiapkan uang itu untuk biaya nikah, untuk membayar hutang ataupun untuk renovasi rumah dan keperluan lainnya. Berdasarkan dalil-dalil umum yang berkenaan zakat emas dan perak serta yang sejenis dengan keduanya. Jumlah yang wajib dikeluarkan ialah dua setengah persen. Yaitu dua puluh lima riyal untuk setiap seribu riyal. (Syaikh bin Baz)
Soal: Apakah uang tabungan dari gaji bulanan wajib dikeluarkan zakatnya? Sementara sudah sempurna satu haul atasnya. Perlu juga diketahui, bahwa uang tersebut tidak dibungakan dan akan digunakan untuk nafkah keluarga. Apakah wajib dikeluarkan zakatnya?
Jawab:Benar, wajib dikeluarkan zakatnya jika telah sempurna satu haul. Sebab setiap harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, tidak disyaratkan harus diniatkan untuk perniagaan. Oleh sebab itu pula, buah-buahan dan biji-bijian wajib dikeluarkan zakatnya, meskipun tidak dipersiapkan untuk diperdagangnkan. Hingga sekiranya seseorang memiliki beberapa pohon kurma di rumahnya untuk dikonsumsi sendiri dan hasil buahnya telah mencapai nishab, tetap wajib dikeluarkan zakatnya. Demikian pula halnya, hasil pertanian dan lainnya yang wajib dibayarkan zakatnya. Begitu pula binatang ternak yang digembalakn di tempat-tempat penggembalaan, wajib dibayarkan zakatnya meskipun si pemilik tidak mempersiapkannya untuk diperjualbelikan.
Hasil tabungan dari gaji bulanan yang dipersiapkan untuuk nafkah juga wajib dikeluarkan zakatnya, bila telah mencukupi satu haul dan mencapai nishab.
Namun dalam hal ini, ada permasalahan rumit bagi kebanyakan orang. Uang yang mereka terima dari gaji bulanan atau dari penyewaan rumah atau toko yang harganya naik setiap bulan atau sejenisnya, disimpan dalam tabungan atau di bank. Kadang kala ia memasukkan uang dan kadangkala mengambilnya, sehingga sulit baginya menentukan manakah yang telah berlalu satu haul dari uang tabungannya itu.
Dalam kondisi demikian – menurut pendapat kami – bila sepanjang satu tahun tersebut uang tabungannya tidak kurang dari jumlah nishab, maka yang terbaik baginya ialah menghitung haul mulai dari awal jumlah uang tabungannya mencapai nishab. Kemudian mengeluarkan zakatnya bila telah genap satu haul.
Dengan demikian, ia telah mengeluarkan zakat uang tabungannya, baik yang sudah genap satu haul maupun yang belum. Dalam kondisi ini, uang tabungan yang belum genap satu haul, terhitung telah didahulukan zakatnya. Mendahulukan pembayaran zakat tentunya dibolehkan. Cara seperti ini tentu lebih mudah daripada setiap bulan menghitung haul uang tabungan. (Syaikh Ibn Utsaimin)
***
Dipublikasikan ulang oleh www.muslim.or.id

Seputar Zakat Fithri

Hikmah Disyari’atkan Zakat Fithri
Di antara hikmah zakat fithri adalah untuk menyucikan hati orang yang berpuasa dari perkara yang tidak bermanfaat dan kata-kata yang kotor. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia dan perkataan kotor, sekaligus untuk memberikan makan orang-orang miskin.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Selain itu juga, zakat fithri akan mencukupi kaum fakir dan miskin dari meminta-minta pada hari raya ‘idul fithri sehingga mereka dapat bersenang-senang dengan orang kaya pada hari tersebut dan syari’at ini juga bertujuan agar kebahagiaan ini dapat dirasakan oleh semua kalangan. (Lihat Minhajul Muslim, 23 dan Majelis Bulan Ramadhan, 382)
Hukum Zakat Fithri
Zakat Fithri adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim pada hari berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. Hal ini dapat dilihat dari perkataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun yang budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa.” (HR. An Nasai. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Nasa’i, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih)
Catatan: Perlu diperhatikan bahwa shogir (anak kecil) dalam hadits ini tidak termasuk di dalamnya janin. Karena ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa janin juga wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini kurang tepat karena janin tidaklah disebut shogir dalam bahasa Arab juga secara ‘urf (anggapan orang Arab) (Lihat Shifat Shaum Nabi, 102). Namun jika ada yang mau membayarkan zakat fithri untuk janin tidaklah mengapa karena dahulu sahabat Utsman bin ‘Affan pernah mengeluarkan zakat fithri bagi janin dalam kandungan. (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 381)
Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri
Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh:
Setiap muslim sedangkan orang kafir tidak wajib untuk menunaikannya, namun mereka akan dihukum di akhirat karena tidak menunaikannya.
Yang mampu mengeluarkan zakat fithri. Menurut mayoritas ulama, batasannya adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang demikian berarti dia mampu dan wajib mengeluarkan zakat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ » فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيهِ قَالَ « أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ
“Barangsiapa meminta dan padanya terdapat sesuatu yang mencukupinya, maka seseungguhnya dia telah mengumpulkan bara api.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana ukuran mencukupi? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Seukuran makanan yang mengenyangkan sehari-semalam.” (HR. Abu Daud, Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Abi Daud) (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/80)
Bagaimana dengan anak dan istri yang menjadi tanggungan suami, apakah perlu mengeluarkan zakat sendiri-sendiri? Menurut Imam Nawawi, kepala keluarga wajib membayar zakat fithri keluarganya. Bahkan menurut Imam Malik, Syafi’i dan mayoritas ulama wajib bagi suami untuk mengeluarkan zakat istrinya karena istri adalah tanggungan nafkah suami. (Syarh Nawawi ‘ala Muslim, VII/59). Namun menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, jika mereka mampu, sebaiknya mereka mengeluarkannya atas nama diri mereka sendiri, karena pada asalnya masing-masing mereka terkena perintah untuk menunaikannya. (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 381). Wallahu a’lam.
Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Membayar Zakat Fithri?
Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fithri pada saat terbenamnya matahari di malam hari raya. Jika dia mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fithri. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi dalam Syarh Muslim VII/58, juga dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Majlis Syahri Ramadhan. Alasannya karena zakat ini merupakan saat berbuka dari puasa Ramadhan. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan demikian (disandarkan pada kata fithri) sehingga hukumnya juga disandarkan pada waktu fithri tersebut.

Misalnya adalah apabila seseorang meninggal satu menit sebelum terbenamnya matahari pada malam hari raya, maka dia tidak punya kewajiban dikeluarkan zakat fithri. Namun, jika ia meninggal satu menit setelah terbenamnya matahari maka wajib untuk mengeluarkan zakat fithri darinya. Begitu juga apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari maka tidak wajib dikeluarkan zakat fithri darinya, tetapi dianjurkan sebagaimana perbuatan Utsman di atas. Namun, jika bayi itu terlahir sebelum matahari terbenam, maka zakat fithri wajib untuk dikeluarkan darinya (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 385).
Macam Zakat Fithri
Benda yang dijadikan zakat fithri adalah berupa makanan pokok manusia, baik itu kurma, gandum, beras, kismis, keju, dsb dan tidak dibatasi pada kurma atau gandum saja (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 383 & Shohih Fiqh Sunnah, II/82). Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Malikiyah, Syafi’iyah, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa dan hal ini diselisihi oleh Hanabilah. Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau gandum karena ini adalah makanan pokok penduduk Madinah. Seandainya itu bukan makanan pokok mereka tetapi mereka mengkonsumsi makanan pokok lainnya, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu tidak akan membebani mereka mengeluarkan zakat fithri yang bukan makanan yang biasa mereka makan. Sebagaimana juga dalam membayar kafaroh diperintahkan seperti ini. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ
“Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (QS. Al Maidah [5] : 89). Dan zakat fithri merupakan bagian dari kafaroh. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/82)
Ukuran Zakat Fithri
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Umar di atas bahwa zakat fithri adalah seukuran satu sho’ kurma atau gandum. Satu sho’ dari semua jenis ini adalah seukuran ‘empat cakupan penuh telapak tangan yang sedang’ sebagaimana yang disebutkan dalam Kamus Al Muhith. Dan apabila ditimbang akan mendekati ukuran 3 kg. Jadi kalau di Jawa makanan pokoknya adalah beras, maka ukuran zakat fithrinya sekitar 3 kg dan inilah yang lebih hati-hati. (Lihat pendapat Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa-nya V/92 atau Majalah Al Furqon Th. I, ed 2)
Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fithri dengan Uang ?
Perlu diketahui bahwa pakaian, tempat tidur, bejana, perabot rumah tangga, serta benda-benda lainnya selain makanan tidak dapat digunakan untuk membayar zakat fithri. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan pembayaran zakat fithri dengan makanan (sebagaimana dapat dilihat pada hadits Ibnu Abbas di atas), dan ketentuan beliau ini tidak boleh dilanggar. Oleh karena itu, tidak boleh mengganti makanan dengan uang yang seharga makanan dalam membayar zakat fithri karena ini berarti menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan alasan lainnya adalah:
Selain menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyelisihi amalan shabat radhiyallahu ‘anhum yang menunaikannya dengan satu sho’ kurma atau gandum. Ingatlah! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya, “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang mendapat petunjuk.” (HR. Abu Daud & Tirmidzi, dia mengatakan hadits ini hasan shohih)
Zakat fithri adalah suatu ibadah yang diwajibkan dari suatu jenis tertentu. Oleh sebab itu, posisi jenis barang yang dijadikan sebagai alat pembayaran zakat fithri itu tidak dapat digantikan sebagaimana waktu pelaksanaannya juga tidak dapat digantikan. Jika ada yang mengatakan bahwa menggunakan uang ‘kan lebih bermanfaat. Maka kami katakan bahwa Nabi yang mensyariatkan zakat dengan makanan tentu lebih sayang kepada orang miskin dan tentu lebih tahu mana yang lebih manfaat bagi mereka. Allah yang mensyari’atkannya pula tentu lebih tahu kemaslahatan hamba-Nya yang fakir dan miskin, tetapi Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mensyariatkan dengan uang.
Perlu diketahui pula bahwa pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah terdapat mata uang. Tetapi kok beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan sahabatnya untuk membayar dengan uang? Seandainya diperbolehkan dengan uang, lalu apa hikmahnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dengan satu sho’ gandum atau kurma? Seandainya boleh menggunakan uang, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengatakan kepada umatnya, ‘Satu sho’ gandum atau harganya.’
Terakhir, menurut mayoritas ulama fiqh tidak boleh menggunakan uang yang senilai makanan untuk membayar zakat fithri, namun yang membolehkannya adalah Abu Hanifah juga Umar bin Abdul Aziz. Imam Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa perkataan Abu Hanifah ini tertolak. Karena “Tidaklah Rabbmu itu lupa”. Seandainya zakat fithri dengan uang itu dibolehkan tentu Allah dan Rasul-Nya akan menjelaskannya. (Lihat Majalah Al Furqon Th. I, ed 2 & Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah, 230-231)
Penerima Zakat Fithri
Penerima zakat fithri hanya dikhususkan untuk orang miskin dan bukanlah dibagikan kepada 8 golongan penerima zakat (sebagaimana terdapat dalam surat At Taubah:60). Inilah pendapat Malikiyah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menyelisihi mayoritas ulama. Pendapat ini lebih tepat karena lebih cocok dengan tujuan disyariatkannya zakat fithri yaitu untuk memberi makan orang miskin sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas di atas, “… untuk memberikan makan orang-orang miskin.” (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/85)
Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, II/17 mengatakan bahwa berdasarkan petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam zakat fithri itu hanya dikhususkan kepada orang miskin. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membagikannya kepada 8 ashnaf (sebagaiman dalam Surat At Taubah: 60) dan beliau juga tidak pernah memerintahkan demikian dan tidak ada seorang sahabat pun dan tabi’in yang melakukannya.
Waktu Mengeluarkan Zakat Fithri
Zakat fithri disandarkan kepada kata ‘fithri (berbuka artinya tidak berpuasa lagi)’. Karena fithri inilah sebabnya, maka zakat ini dikaitkan dengan fithri tersebut dan tidak boleh didahulukan. Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat itu ada dua macam. Pertama adalah waktu utama (afdhol) yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied. Dan kedua adalah waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan Ibnu Umar. (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, 640 & Minhajul Muslim, 231)
Ibnu Abbas berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia dan perkataan kotor, sekaligus untuk memberikan makan untuk orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat ‘ied, maka itu adalah zakat yang diterima. Namun, barangsiapa yang menunaikannya setelah salat ‘ied maka itu hanya sekedar shodaqoh.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Hadits ini merupakan dalil bahwa pembayaran zakat fithri setelah shalat ‘ied tidak sah karena hanya berstatus sebagaimana sedekah pada umumnya dan bukan termasuk zakat fithri (At Ta’liqot Ar Rodhiyah, I/553, ed)
Namun kewajiban ini tidak gugur di luar waktunya. Kewajiban ini harus tetap ditunaikan walaupun statusnya hanya sedekah. Abu Malik Kamal (Penulis Shohih Fiqh Sunnah) mengatakan bahwa pendapat ini merupakan kesepakatan para ulama yaitu kewajiban membayar zakat fithri tidaklah gugur apabila keluar waktunya. Hal ini masih tetap menjadi kewajiban orang yang punya kewajiban zakat karena ini adalah utang yang tidak bisa gugur kecuali dengan dilunasi dan ini adalah hak sesama anak Adam. Adapun hak Allah, apabila hak tersebut diakhirkan hingga keluar waktunya maka tidak dibolehkan dan tebusannya adalah istigfar dan bertaubat kepada-Nya. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/84). Wallahu a’lam bish showab. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris MunandarArtikel www.muslim.or.id

Syarat Wajib dan Cara Mengeluarkan Zakat Mal

Syarat seseorang wajib mengeluarkan zakat adalah sebagai berikut:
1. Islam
2. Merdeka
3. Berakal dan baligh
4. Memiliki nishab

Makna nishab di sini adalah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai ukuran tersebut. Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakat dengan dasar firman Allah,
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (Qs. Al Baqarah: 219)

Makna al afwu (dalam ayat tersebut-red), adalah harta yang telah melebihi kebutuhan. Oleh karena itu, Islam menetapkan nishab sebagai ukuran kekayaan seseorang.
Syarat-syarat nishab adalah sebagai berikut:
1. Harta tersebut di luar kebutuhan yang harus dipenuhi seseorang, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang dipergunakan untuk mata pencaharian.
2. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari hari kepemilikan nishab dengan dalil hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun).” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al AlBani)
Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan. Karena zakat pertanian dan buah-buahan diambil ketika panen. Demikian juga zakat harta karun (rikaz) yang diambil ketika menemukannya.
Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing, maka ia tidak diwajibkan zakat karena nishab bagi kambing itu 40 ekor. Kemudian jika kambing-kambing tersebut berkembang biak sehingga mencapai 40 ekor, maka kita mulai menghitung satu tahun setelah sempurna nishab tersebut.
Nishab, Ukuran dan Cara Mengeluarkan Zakatnya
1. Nishab emas
Nishab emas sebanyak 20 dinar. Dinar yang dimaksud adalah dinar Islam.1 dinar = 4,25 gr emasJadi, 20 dinar = 85gr emas murni.
Dalil nishab ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak ada kewajiban atas kamu sesuatupun – yaitu dalam emas – sampai memiliki 20 dinar. Jika telah memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul, maka terdapat padanya zakat ½ dinar. Selebihnya dihitung sesuai dengan hal itu, dan tidak ada zakat pada harta, kecuali setelah satu haul.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi)
Dari nishab tersebut, diambil 2,5% atau 1/40. Dan jika lebih dari nishab dan belum sampai pada ukuran kelipatannya, maka diambil dan diikutkan dengan nishab awal. Demikian menurut pendapat yang paling kuat.
Contoh:Seseorang memiliki 87 gr emas yang disimpan. Maka, jika telah sampai haulnya, wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya, yaitu 1/40 x 87gr = 2,175 gr atau uang seharga tersebut.
2. Nishab perak
Nishab perak adalah 200 dirham. Setara dengan 595 gr, sebagaimana hitungan Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ 6/104 dan diambil darinya 2,5% dengan perhitungan sama dengan emas.
3. Nishab binatang ternak
Syarat wajib zakat binatang ternak sama dengan di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu binatanngya lebih sering digembalakan di padang rumput yang mubah daripada dicarikan makanan.
“Dan dalam zakat kambing yang digembalakan di luar, kalau sampai 40 ekor sampai 120 ekor…” (HR. Bukhari)
Sedangkan ukuran nishab dan yang dikeluarkan zakatnya adalah sebagai berikut:
a. OntaNishab onta adalah 5 ekor.Dengan pertimbangan di negara kita tidak ada yang memiliki ternak onta, maka nishab onta tidak kami jabarkan secara rinci -red.
b. SapiNishab sapi adalah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya.
Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:
Jumlah Sapi Jumlah yang dikeluarkan
30-39 ekor 1 ekor tabi’ atau tabi’ah
40-59 ekor 1 ekor musinah
60 ekor 2 ekor tabi’ atau 2 ekor tabi’ah
70 ekor 1 ekor tabi dan 1 ekor musinnah
80 ekor 2 ekor musinnah
90 ekor 3 ekor tabi’
100 ekor 2 ekor tabi’ dan 1 ekor musinnah
Keterangan:
Tabi’ dan tabi’ah adalah sapi jantan dan betina yang berusia setahun.
Musinnah adalah sapi betina yang berusia 2 tahun.
Setiap 30 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor tabi’ dan setiap 40 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor musinnah.
c. Kambing
Nishab kambing adalah 40 ekor. Perhitungannya adalah sebagai berikut:
Jumlah Kambing Jumlah yang dikeluarkan
40 ekor 1 ekor kambing
120 ekor 2 ekor kambing
201 – 300 ekor 3 ekor kambing
> 300 ekor setiap 100, 1 ekor kambing

4. Nishab hasil pertanian
Zakat hasil pertanian dan buah-buahan disyari’atkan dalam Islam dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. Al-An’am: 141)

Adapun nishabnya ialah 5 wasaq, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Zakat itu tidak ada yang kurang dari 5 wasaq.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Satu wasaq setara dengan 60 sha’ (menurut kesepakatan ulama, silakan lihat penjelasan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/364). Sedangkan 1 sha’ setara dengan 2,175 kg atau 3 kg. Demikian menurut takaaran Lajnah Daimah li Al Fatwa wa Al Buhuts Al Islamiyah (Komite Tetap Fatwa dan Penelitian Islam Saudi Arabia). Berdasarkan fatwa dan ketentuan resmi yang berlaku di Saudi Arabia, maka nishab zakat hasil pertanian adalah 300 sha’ x 3 kg = 900 kg. Adapun ukuran yang dikeluarkan, bila pertanian itu didapatkan dengan cara pengairan (atau menggunakan alat penyiram tanaman), maka zakatnya sebanyak 1/20 (5%). Dan jika pertanian itu diairi dengan hujan (tadah hujan), maka zakatnya sebanyak 1/10 (10%). Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Pada yang disirami oleh sungai dan hujan, maka sepersepuluh (1/10); dan yang disirami dengan pengairan (irigasi), maka seperduapuluh (1/20).” (HR. Muslim 2/673)
Misalnya: Seorang petani berhasil menuai hasil panennya sebanyak 1000 kg. Maka ukuran zakat yang dikeluarkan bila dengan pengairan (alat siram tanaman) adalah 1000 x 1/20 = 50 kg. Bila tadah hujan, sebanyak 1000 x 1/10 = 100 kg
5. Nishab barang dagangan
Pensyariatan zakat barang dagangan masih diperselisihkan para ulama. Menurut pendapat yang mewajibkan zakat perdagangan, nishab dan ukuran zakatnya sama dengan nishab dan ukuran zakat emas.
Adapun syarat-syarat mengeluarkan zakat perdagangan sama dengan syarat-syarat yang ada pada zakat yang lain, dan ditambah dengan 3 syarat lainnya:
1) Memilikinya dengan tidak dipaksa, seperti dengan membeli, menerima hadiah, dan yang sejenisnya.
2) Memilikinya dengan niat untuk perdagangan.
3) Nilainya telah sampai nishab.
Seorang pedagang harus menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli (beli), lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong hutang.
Misalnya: Seorang pedagang menjumlah barang dagangannya pada akhir tahun dengan jumlah total sebesar Rp. 200.000.000 dan laba bersih sebesar Rp. 50.000.000. Sementara itu, ia memiliki hutang sebanyak Rp. 100.000.000. Maka perhitungannya sebagai berikut:
Modal – Hutang:
Rp. 200.000.000 – Rp. 100.000.000 = Rp. 100.000.000
Jadi jumlah harta zakat adalah:
Rp. 100.000.000 + Rp. 50.000.000 = Rp. 150.000.000
Zakat yang harus dibayarkan:
Rp. 150.000.000 x 2,5 % = Rp. 3.750.000
6. Nishab harta karun
Harta karun yang ditemukan, wajib dizakati secara langsung tanpa mensyaratkan nishab dan haul, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Dalam harta temuan terdapat seperlima (1/5) zakatnya.” (HR. Muttafaqun alaihi)
Cara Menghitung Nishab
Dalam menghitung nishab terjadi perbedaan pendapat. Yaitu pada masalah, apakah yang dilihat nishab selama setahun ataukah hanya dilihat pada awal dan akhir tahun saja?
Imam Nawawi berkata, “Menurut mazhab kami (Syafi’i), mazhab Malik, Ahmad, dan jumhur, adalah disyaratkan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya – dan (dalam mengeluarkan zakatnya) berpedoman pada hitungan haul, seperti: emas, perak, dan binatang ternak- keberadaan nishab pada semua haul (selama setahun). Sehingga, kalau nishab tersebut berkurang pada satu ketika dari haul, maka terputuslah hitungan haul. Dan kalau sempurna lagi setelah itu, maka dimulai perhitungannya lagi, ketika sempurna nishab tersebut.” (Dinukil dari Sayyid Sabiq dari ucapannya dalam Fiqh as-Sunnah 1/468). Inilah pendapat yang rajih (paling kuat -ed) insya Allah. Misalnya nishab tercapai pada bulan Muharram 1423 H, lalu bulan Rajab pada tahun itu ternyata hartanya berkurang dari nishabnya. Maka terhapuslah perhitungan nishabnya. Kemudian pada bulan Ramadhan (pada tahun itu juga) hartanya bertambah hingga mencapai nishab, maka dimulai lagi perhitungan pertama dari bulan Ramadhan tersebut. Demikian seterusnya sampai mencapai satu tahun sempurna, lalu dikeluarkannya zakatnya. Demikian tulisan singkat ini, mudah-mudahan bermanfaat.
Diringkas dari tulisan: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Dipublikasikan ulang oleh www.muslim.or.id

Jumat, 11 September 2009

CIRI LAILATUL QADR


Dinamakan lailatul qodr karena pada malam itu malaikat diperintahkan oleh Allah swt untuk menuliskan ketetapan tentang kebaikan, rezeki dan keberkahan di tahun ini, sebagaimana firman Allah swt :

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ ﴿٣﴾فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ﴿٤﴾أَمْرًا مِّنْ عِندِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ ﴿٥

Artinya : ”Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya kami adalah yang mengutus rasul-rasul.” (QS. Ad Dukhan : 3 – 5)

Al Qurthubi mengatakan bahwa pada malam itu pula para malaikat turun dari setiap langit dan dari sidrotul muntaha ke bumi dan mengaminkan doa-doa yang diucapkan manusia hingga terbit fajar. Para malaikat dan jibril as turun dengan membawa rahmat atas perintah Allah swt juga membawa setiap urusan yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah di tahun itu hingga yang akan datang. Lailatul Qodr adalah malam kesejahteraan dan kebaikan seluruhnya tanpa ada keburukan hingga terbit fajar, sebagaimana firman-Nya :

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ ﴿٤﴾سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴿٥

Artinya : ”Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qodr : 4 – 5)

Diantara hadits-hadits yang menceritakan tentang tanda-tanda lailatul qodr adalah :
1. Sabda Rasulullah saw,”Lailatul qodr adalah malam yang cerah, tidak panas dan tidak dingin, matahari pada hari itu bersinar kemerahan lemah.” Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah yang dishahihkan oleh Al Bani.
2. Sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya aku diperlihatkan lailatul qodr lalu aku dilupakan, ia ada di sepuluh malam terakhir. Malam itu cerah, tidak panas dan tidak dingin bagaikan bulan menyingkap bintang-bintang. Tidaklah keluar setannya hingga terbit fajarnya.” (HR. Ibnu Hibban)
3. Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya para malaikat pada malam itu lebih banyak turun ke bumi daripada jumlah pepasiran.” (HR. Ibnu Khuzaimah yang sanadnya dihasankan oleh Al Bani)
4. Rasulullah saw berabda,”Tandanya adalah matahari terbit pada pagi harinya cerah tanpa sinar.” (HR. Muslim)
Terkait dengan berbagai tanda-tanda Lailatul Qodr yang disebutkan beberapa hadits, Syeikh Yusuf al Qaradhawi mengatakan,”Semua tanda tersebut tidak dapat memberikan keyakinan tentangnya dan tidak dapat memberikan keyakinan yakni bila tanda-tanda itu tidak ada berarti Lailatul Qodr tidak terjadi malam itu, karena lailatul qodr terjadi di negeri-negeri yang iklim, musim, dan cuacanya berbeda-beda. Bisa jadi ada diantara negeri-negeri muslim dengan keadaan yang tak pernah putus-putusnya turun hujan, padahal penduduk di daerah lain justru melaksanakan shalat istisqo’. Negeri-negeri itu berbeda dalam hal panas dan dingin, muncul dan tenggelamnya matahari, juga kuat dan lemahnya sinarnya. Karena itu sangat tidak mungkin bila tanda-tanda itu sama di seluruh belahan bumi ini. (Fiqih Puasa hal 177 – 178)

Perbedaan Waktu Antar Negara
Lailatul qodr merupakan rahasia Allah swt. Untuk itu dianjurkan agar setiap muslim mencarinya di sepuluh malam terakhir, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Carilah dia (lailatul qodr) pada sepuluh malam terakhir di malam-malam ganjil.” (HR. Bukhori Muslim).
Dari Abu Said bahwa Nabi saw menemui mereka pada pagi kedua puluh, lalu beliau berkhotbah. Dalam khutbahnya beliau saw bersabda,”Sungguh aku diperlihatkan Lailatul qodr, kemudian aku dilupakan—atau lupa—maka carilah ia di sepuluh malam terakhir, pada malam-malam ganjil.” (Muttafaq Alaihi)
Pencarian lebih ditekankan pada tujuh malam terakhir bulan Ramadhan sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Ibnu Umar bahwa beberapa orang dari sahabat Rasulullah saw bermimpi tentang Lailatul Qodr di tujuh malam terakhir. Menanggapi mimpi itu, Rasulullah saw bersabda,”Aku melihat mimpi kalian bertemu pada tujuh malam terakhir. Karena itu barangsiapa hendak mencarinya maka hendaklah ia mencari pada tujuh malam terakhir.”
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda,”Carilah ia di sepuluh malam terakhir. Jika salah seorang kalian lemah atau tdak mampu maka janganlah ia dikalahkan di tujuh malam terakhir.” (HR. Muslim, Ahmad dan Ath Thayalisi)
Malam-malam ganjil yang dimaksud dalam hadits diatas adalah malam ke- 21, 23, 25, 27 dan 29. Bila masuknya Ramadhan berbeda-beda dari berbagai negara—sebagaimana sering kita saksikan—maka malam-malam ganjil di beberapa negara menjadi melam-malam genap di sebagian negara lainnya sehingga untuk lebih berhati-hati maka carilah Lailatul Qodr di setiap malam pada sepuluh malam terakhir. Begitu pula dengan daerah-daerah yang hanya berbeda jamnya saja maka ia pun tidak akan terlewatkan dari lailatul qodr karena lailatul qodr ini bersifat umum mengenai semua negeri dan terjadi sepanjang malam hingga terbit fajar di setiap negeri-negeri itu.
Karena tidak ada yang mengetahui kapan jatuhnya lailatul qodr itu kecuali Allah swt maka cara yang terbaik untuk menggapainya adalah beritikaf di sepuluh malam terakhir sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya.


Ciri-ciri Orang Yang Mendapatkan Lailatul Qodr
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dai Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa melakukan qiyam lailatul qodr dengan penuh keimanan dan pengharapan (maka) dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.”
Juga doa yang diajarkan Rasulullah saw saat menjumpai lailatul qodr adalah ”Wahai Allah sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi Maaf, Engkau mencintai pemaafan karena itu berikanlah maaf kepadaku.” (HR. Ibnu Majah)
Dari kedua hadits tersebut menunjukkan bahwa dianjurkan bagi setiap yang menginginkan lailatul qodr agar menghidupkan malam itu dengan berbagai ibadah, seperti : shalat malam, tilawah Al Qur’an, dzikir, doa dan amal-amal shaleh lainnya. Dan orang yang menghidupkan malam itu dengan amal-amal ibadah akan merasakan ketenangan hati, kelapangan dada dan kelezatan dalam ibadahnya itu karena semua itu dilakukan dengan penuh keimanan dan mengharapkan ridho Allah swt.
Wallahu A’lam

Sabtu, 29 Agustus 2009

Zakat Hasil Usaha

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz ,saya mau tanya mengenai zakat hasil usaha. Dalam tahun ini saya dapat keuntungan usaha 10 juta. Apakah benar zakatnya 2,5% x 10 juta ?
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Abu Taufiq
Jawaban
Wa’alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya Bapak Abu Taufiq yang baik, semoga senantiasa diberikan keberkahan didalam meraih keuntungan dari setiap usaha yang dilakukannya dengan berzakat.
Mengenai zakat hasil usaha dalam kajian kitab fiqih dikenal sebagai zakat at-Tijarah (zakat perdagangan/ perniagaan). Menurut Dr. Yusuf Qhardawi dalam kitabnya Fiqhu az-Zakat, seseorang yang memiliki kekayaan perdagangan, masanya memang harus mencapai satu tahun, dan nilainya sudah mencapai nisab seharga dengan 85 gram emas. Jika sudah melebihi nisab maka orang itu wajib mengeluarkan zakatnya 2.5% dihitung dari modal dan keuntungan, bukan dari hasil perhitungan keuntungan saja.
Hal ini sesuai Firman Allah Swt:“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (keluarkan zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.“ (QS, Al-Baqarah (2): 267)
Imam Tabari dalam kitabnya Tafsir at-Tabari (jilid V:555-556) mengatakan dalam menafsirkan ayat ini bahwa maksud ayat ini adalah, “Zakatkanlah sebagian yang baik yang kalian peroleh dengan usaha kalian, baik melalui perdagangan atau pertukangan, yang berupa emas dan perak”.
Menurut ulama-ulama fiqih bahwa yang dimaksud dengan barang dagangan adalah barang yang diperjual belikan dengan maksud mencari keuntungan. Rasulullah Saw memerintahkan kita agar mengeluarkan zakat dari segala yang diperuntukkan untuk diperjual-belikan. Sebagai mana beliau bersabda:” Bayarlah zakat kekayaan kalian” (HR. Turmizi)
Zakat hasil usaha wajib dizakati setelah dikurangi dengan kewajiban, seperti hutang dan pajak. Modal dagang yang ditekankan wajib zakat adalah berupa kekayaan cair atau bergerak. Sedangkan bangunan, timbangan, kendaraan dan perabot toko tak bergerak yang tidak diperjual-belikan dan tidak bergerak tidak termasuk yang dizakati. Berdasarkan penjelasan tersebut, jelas berarti keuntungan yang didapat pak Abu Taufiq dihitung dengan ditambahkannya modal perdagangan bukan hanya keuntungannya saja. Jika sudah ditotal modal dan keuntungan dalam setahun ternyata lebih dari nisab harga @se-gram emas sekarang Rp. 300.000 x 85 (gram) = 25.500.000 maka dikali 2,5% (wajib zakat). Tetapi kalau kurang dari nisab maka tidak wajib zakat.
Lebih jelas mari kita simak simulasi contoh Usaha dagang pak Abu Taufiq: Stok barang seharga Rp. 30.000.000Keuntungan Rp. 10.000.000Hutang Rp. 5.000.000Saldo Rp. 35.000.000
Al-hasil sebab saldo usaha bapak lebih dari 85 (gram) = 25.500.000, maka dikali 2,5% x 35.000.000,- = Rp. 875.000,- (zakat yang dikeluarkan). Tetapi jika pendapatan bersih tahun ini bapak hanya Rp. 10.000.000. berarti belum cukup untuk berzakat. Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam. (MZ)

Konsultasi Zakat Penghasilan

Assalamu'alaikum WR.Wb.

Ustadz, Saya adalah seorang PNS yang penghasilan setiap bulannya sekitar Rp.2.250.000,-, dan dipotong sekitar Rp. 664.000,- utk pelunasan kredit di Bank BRI selama 4 tahun (sampai bulan Maret 2011) dan Rp. 284.000,- utk pelunasan kredit Mesin Cuci selama 9 bulan (sampai bulan Desember 2009).
Singkat kata : 1. Apakah saya harus mengelurakan zakat atas penghasilan tersebut ? sementara
masih banyak kebutuhan rumah tangga saya yang belum tercukupi.
2. Kalau memang harus dikeluarkan, apakah dikeluarkan setiap bulan / tahun ?
Dan bagaimana cara perhitnugannya ?
3. Mohon dalil atau dasar hukum yang kuat atas persoalan yang saya utarakan ini.
4. Terimakasih sebelumnya.
Wassalamu'alaikum Wr.Wb.
Abd.Karim
Ambon - Maluku
Abdul Karim
Jawaban
Wa’alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya Bapak Abd. Karim yang baik.
Zakat adalah ibadah maaliyah yang mempunyai dimensi pemerataan karunia Allah SWT sebagai fungsi sosial ekonomi sebagai perwujudan solidaritas sosial yang akhirnya dapat menciptakan situasi yang tentram, aman lahir bathin.
Untuk menjawab pertanyaan pertama bapak, apakah bapak harus mengeluarkan zakat atas penghasilan. Marilah kita cermati simulasi perhitungan zakatnya.
Contoh Perhitungan zakat Bapak Abd. Karim: A. PemasukanPemasukan Rp. 2.250.000,- x 12 = Rp. 27.000.000,-Hutang 1. Rp. 664.000,- x 12 = Rp. 7.968.000,-2. Rp. 284.000,- x 9 = Rp. 2.556.000,-Total Hutang = Rp. 10.524.000,-Total Bersih Pendapatan: Rp. 16.476.000,-
B. NishabNishab senilai emas 85 gram (harga emas sekarang @se-gram Rp. 300.000) = Rp. 25.500.000,-
C. Zakatkah?Berdasarkan simulasi data pemasukan Bapak Abd. Karim tersebut (sebesar Rp. 16.476.000,-) berarti belum wajib mengeluarkan zakatnya sebab belum cukup nishabnya (85 gram emas = Rp. 25.500.000,-). Namun sangat dianjurkan untuk bersedekah.
Pertanyaan yang kedua kalau memang harus dikeluarkan, apakah dikeluarkan setiap bulan / tahun ? Bapak Abd. Karim yang dirahmati Allah, kewajiban mengeluarkan zakat jika orang yang berzakat hartanya melebihi nishab 85 gram emas = Rp. 25.500.000,- pertahun maka ia wajib zakat 2,5%. Contoh: 2,5% x Rp. 25.500.000,- = Rp. 637.500,-. (berarti zakat yang dikeluarkan pertahun) atau Rp. 53.125,- (jika perbulan). Jika pendapatan bersih kita Rp. 50.000.000 x 2,5% = Rp. 1.250.000,-. (berarti zakat yang dikeluarkan pertahun) atau dikeluarkan Rp. 104.167,- (perbulan).
Mengenai zakat profesi apakah dikeluarkan setiap bulan atau setiap tahun, para ulama kontemporer menjelaskan membolehkan mengeluarkan zakat profesi bisa dilakukan setahun sekali atau sebulan sekali yang jelas jika ditotal pendapatan bersih melebihi nishab zakat sehingga zakat yang dikeluarkan tetap 2,5%.
Bahkan pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz dan ulama modern seperti Yusuf Qardhawi tidak mensyaratkan haul (satu tahun) mengeluarkan zakat profesi, tetapi zakat profesi dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan zakat pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen. (haul: lama pengendapan harta).
Jadi, jika seorang muslim memperoleh pendapatan dari hasil usaha atau profesi tertentu, maka dia boleh mengeluarkan zakatnya langsung 2.5 % pada saat penerimaan setelah dipotong kebutuhan bulanannya atau menunggu putaran satu tahun dan dikeluarkan zakatnya bersama dengan harta benda lain yang wajib dizakati senilai 2.5 %.
Lebih jelasnya, menurut Yusuf Qardhawi perhitungan zakat profesi dibedakan menurut dua cara, yaitu:1. Secara langsung, zakat dihitung dari 2,5% dari penghasilan kotor secara langsung, baik dibayarkan bulanan atau tahunan. Metode ini lebih tepat dan adil bagi mereka yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 3.000.000 tiap bulan, maka wajib membayar zakat sebesar: 2,5% x 3.000.000 = Rp 75.000 per bulan atau Rp 900.000 per tahun.2. Setelah dipotong dengan kebutuhan pokok, zakat dihitung 2,5% dari gaji setelah dipotong dengan kebutuhan pokok. Metode ini lebih adil diterapkan bagi mereka yang penghasilannya pas-pasan. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 1.500.000,- dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok Rp 1.000.000 tiap 8 bulan, maka wajib membayar zakat sebesar : 2,5% x (1.500.000 - 1.000.000) = Rp 12.500 per bulan atau Rp 150.000,- per tahun.
Adapun pertanyaan terakhir dasar hukum dalil tentang zakat (termasuk zakat profesi) yaitu berdasarkan Al-Qur’an, hadits, ijma dan qiyas. Istilah zakat dalam Al-Qur’an dapat ditemukan sebanyak 82 kali. (M. Fuadz Baqi dalam kitabnya “Al-mu’jam lialfadzil qur’an”) Ini menunjukkan hukum dasar zakat yang sangat kuat, antara lain : "Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Apapun yang diusahakan oleh dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya di sisi Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui kegiatan apapun yang kamu kerjakan". (QS Al-Baqarah (2): 110) "Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara - saudaramu seagama. Dan kami menjelaskan ayat- ayat itu bagi kaum yang mengetahui". (QS At-Taubah (9): 11) "...Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka,bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih". (QS At-Taubah: 34) "...Dan makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berubah,dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". (QS QS Al-An'am: 141) "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu..." (QS Al-Baqarah: 267) "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (QS At Taubah 103)
Adapun dasar hukum berdasarkan sunnah yaitu : "Dari Ibnu Abbas r.a ia berkata : Aku diberitahu oleh Abu Sufyan ra, lalu ia menyebutkan hadits Nabi saw, ia mengatakan : "Nabi saw menyuruh kita supaya mendirikan shalat, menunaikan zakat, silaturahmi (menghubungi keluarga) dan ifaf (yakni menahan diri dari perbuatan buruk)". (Bukhari II, 1993: 320) "Dari abu Ayyub ra. bahwasanya seseorang berkata kepada Nabi saw: "beritakanlah kepadaku amal yang dapat memasukkan saya ke surga". Ia berkata: "Apakah itu, apakah itu ?" Nabi saw bersabda: "Apakah keperluannya? kamu menyembah Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, kamu mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, dan menyambung keluarga silaturahmi". (HR. Bukhari). Dari Ibnu Abbas ra, bahwasanya Nabi SAW pernah mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman,... Nabi bersabda: Sesungguhnya Allah telah memfardhukan atas mereka zakat harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya diantara mereka dan dikembalikan (dibagikan) kepada orang-orang fakir diantara mereka (HR Mutafaq alaih) Dari Abu Said Al Khudri ra, dari Nabi SAW,sabdanya: Tidak ada zakat bagi tanaman yang kurang dari lima wasaq, bagi unta yang kurang dari lima ekor dan bagi mata uang (perak) dibawah lima uqiah (HR Bukhari)
Ijma Ulama menyatakan bahwa orang yang menolak atau tidak melaksanakan zakat akan mendapatkan dosa atas apa yang dilakukannya. Dimana zakat merupakan sebagian dari fardhu-fardhu yang telah disepakati. Sehingga jika seseorang mengingkari kewajiban dalam menunaikan zakat tersebut, maka ia telah keluar dari agama Islam dan dianggap kafir kecuali jika seseorang yang baru masuk Islam/muallaf maka adanya keringanan dari hukuman karena ketidaktahuannya.
Dari uraian nash, hadits dan ijma di atas dapat dipahami mengenai kewajiban mengeluarkan zakat. Pemahaman ini berdasarkan pada kejelasan sighat berupa redaksi dalam bentuk fi'il amar yang berarti kewajiban/perintah dan dilalah berupa petunjuk dalil yang bersifat qothi'i. Sebab, zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia. Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam. (MZ)

Zakat dalam Bentuk Barang?

Assalamualaikum,

Pak, kalau zakat mal boleh tidak diberikan ke anak yatim piatu tetapi dlm bentuk barang, seperti perlengkapan sholat.
Mohon pencerahannya
Terima kasih
Yuli
Jawaban
Wa’alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya Bu Yuli yang baik.
Pertanyaan pertama ibu boleh tidak zakat diberikan ke anak yatim piatu?
Allah Swt berfirman dalam QS At-taubah (9): 60 menjelaskan tentang orang yang berhak mendapatkan zakat ada delapan golongan yaitu orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.
Berdasarkan ayat tersebut, madzhab syafi’ie berpendapat wajib mengeluarkan zakat (fitrah dan mal) kepada delapan kelompok. Sedangkan mayoritas ulama (hanafi, maliki dan hanbali) memperbolehkan pembagian zakat hanya kepada satu kelompok saja. Dengan demikian berarti zakat boleh diberikan kepada satu kelompok saja yang sangat membutuhkan dibandingkan dengan lainnya. Namun sangat dianjurkan untuk memberikan zakat kepada delapan kelompok yang ada.
Zakat adalah sebuah kewajiban yang bersifat sosial pemberdayaan. Pandangan ini didasarkan atas argumen: urutan pertama asnaf zakat (fakir) adalah kelompok ekonomi lemah, tidak mampu memenuhi sebagian kebutuhan dasar hidupnya dan tanggungannya. Ini menegaskan peran krusial sosial dari zakat. Orang fakir yaitu orang yang tidak memiliki harta atau penghasilan yang layak dalam memenuhi keperluannya seperti sandang, pangan, tempat tinggal dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk dirinya maupun untuk menjadi tanggungannya. Dengan kata lain fakir bisa diartikan orang-orang yang sehat atau jujur, tetapi tidak mempunyai pekerjaan sehingga tidak mempunyai penghasilan. Ada sebagian ulama yang menjelaskan juga tentang kategori fakir mereka adalah orang-orang jompo, termasuk anak yatim piatu bahkan orang-orang cacat yang tidak mempunyai penghasilan,.
Alhasil, berarti zakat boleh diberikan kepada anak yatim piatu sebab mereka dikategorikan sebagai kelompok orang-orang fakir (mustahik zakat)
Pertanyaan berikutnya boleh tidak zakat dengan barang seperti perlengkapan sholat?
Pada dasarnya zakat komoditas dagang atau zakat profesi, dibayar dalam bentuk uang berdasarkan harga yang berlaku pada waktu kewajiban zakat itu tiba, bukan berupa barang. Pendapat ini berdasarkan riwayat dari Umar bin Khatthab r.a. yang berkata kepada Hammas, "Bayarlah zakat hartamu!" Hammas menjawab, "Saya hanya memiliki beberapa buah kantong kulit." Umar menyuruh, "Taksir harganya lalu bayar zakatnya." Pendapat ini lebih berguna bagi kaum fakir supaya mereka dapat memenuhi hajat hidupnya yang bermacam-macam.
Menurut pendapat Syekh Yusuf Qardhawi, bahwa membayar zakat dengan menggunakan uang adalah yang lebih sesuai untuk kondisi zaman sekarang, karena lebih memudahkan kaum muslimin dalam pembayaran zakat dan lebih mudah dalam perhitungannya.
Walau demikian, boleh mengeluarkan zakat dalam bentuk barang untuk mempermudah dan meringankan si pembayar zakat ketika kondisi perdagangan sedang lesu atau arus likuidasi lemah, atau karena sangat bermanfaat sekali dengan memberikan barang seperti perlengkapan alat sholat dengan syarat barang tersebut harus dapat dimanfaatkan dan sangat dibutuhkan oleh kaum miskin. Sehingga akan sangat berbekas bahwa zakat lebih besar manfaatnya dari hanya sekedar pemenuhan kebutuhan primer.. Kalau tidak, sangat lebih bijak pemberian zakat dengan uang sebab bisa memenuhi kebutuhan pokok makanan mustahik. Hal ini akan lebih bermanfaat bagi mereka dan mereka dapat membelanjakannya sesuai dengan kebutuhan mereka sehari-hari. Jika kita menyalurkannya dalam bentuk barang, belum tentu barang yang disalurkan kepada mereka adalah barang yang mereka butuhkan. Apabila barang tersebut memang merupakan barang yang menjadi kebutuhan mereka, maka hal tersebut tidaklah masalah.
Namun jika barang tersebut bukan merupakan barang yang menjadi kebutuhan mereka, maka hal ini akan menyulitkan mereka, karena mereka harus menjual terlebih dahulu barang yang mereka dapatkan dari zakat, untuk kemudian ditukarkan dengan barang yang menjadi kebutuhan mereka. Misalnya ibu menyalurkan zakat dalam bentuk pakaian/perlengkapan sholat , tapi sebenarnya yang dibutuhkan para mustahik adalah makanan, tentu para mustahik tidak akan secara langsung mendapatkan manfaat dari zakat tersebut, karena mereka harus terlebih dahulu bersusah payah menjualnya, setelah laku baru mereka dapat membelanjakannya untuk sesuatu yang menjadi kebutuhan mereka seperti makanan.Dengan zakat itulah solidaritas dapat direntangkan antara kaum yang mampu dengan kaum yang lemah. Sekaligus berarti menunaikan salah satu rukun Islam yang merupakan kewajiban pokok kita dan dengan itu pula partisipasi kita dalam pembangunan menjadi nyata.
Keberhasilan zakat tergantung kepada pendayagunaan dan pemanfaatannya. Walaupun seorang wajib zakat (muzakki) mengetahui dan mampu memperkirakan jumlah zakat yang akan ia keluarkan tidak dibenarkan ia menyerahkannya kepada sembarang orang yang ia sukai. Zakat harus diberikan kepada yang berhak (mustahik) yang sudah ditentukan menurut agama. Penyerahan zakat boleh dilakukan sendiri langsung namun lebih afdhal (utama) adalah melalui badan amil zakat, lembaga amil zakat atau melalui unit pungutan zakat (upz) agar lebih adil dan amanah tersalurkannya.
Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam.
Muhammad Zen, MA

Punya Utang, Masih Wajib Zakat?


Assalamualaikum, Ustadz...
Alhamdulillah, saat ini saya sudah dapat nyicil rumah... Untuk dalam jangka waktu beberapa tahun ini saya memiliki utang untuk cicilan rumah. Jika dijumlahkan, penghasilan saya setelah dikurangi utang cicilan, besarnya di bawah nisab. Jika tanpa dikurangi utang, penghasilan saya masih di atas nisab. Apakah saya masih wajib Zakat? Hal ini harus saya ketahui agar ada kepastian niat saya saat mengeluarkan harta, apakah untuk zakat (jika masih wajib zakat) atau cukup diniatkan sadaqah saja (jika tidak wajib zakat).
Terima kasih Ustadz,,,
Jazakallah...
Abdullah aatn
Jawaban
Wa’alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya Bapak Abdullah aatn yang luar biasa. Mudah-mudahan Allah meluruskan niat kita dalam berzakat karena Allah Swt. Amin
Betul bapak Abdullah segala sesuatu perbuatan/tindakan (termasuk berzakat) syah atau tidaknya tergantung niatnya, sebagaimana sabda Rasul; “Sesungguhnya sahnya sesuatu tergantung niatnya” (HR. Muslim). Seperti halnya saat kita sholat subuh atau zuhur yang membedakan adalah niatnya subuh 2 rokaat, zuhur 4 rakaat.
Apakah zakat penghasilan dari brutto (penghasilan kotor, tidak dikurangi utang) atau netto (pendapatan bersih, dikurangi utang)?
Firman Allah SWT:..dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak dapat bagian (QS. Adz Dzariyat:19), Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik. (QS. Al Baqarah 267)
Nabi SAW bersabda yang artinya:“Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu” (HR. Bukhori )
Menurut DR. Yusuf Qardhawi mengenai zakat pendapatan adalah: “sisa gaji dan pendapatan setahun, wajib zakat bila mencapai nisab uang, sedang kan gaji dan upah setahun yang tidak mencapai nisab uang, tidak wajib zakat.” Al-Qardhawi dalam kitab Fiqhuz Zakat, menyebutkan “dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam penentuan penghitungannya. Apakah zakat itu berdasarkan pemasukan kotor (brutto) atau berdasarkan pemasukan bersih setelah dipotong dengan pengeluaran pokok (netto).
Beliau sendiri menerima kedua pendapat itu dengan membedakan bila seseorang punya pendapatan lumayan besar, sebaiknya mengeluarkan zakat berdasarkan pendapatan kotor. Sedangkan bila seseorang memang termasuk kecil pemasukannya dan banyak tanggungan wajibnya, maka dia mengeluarkan zakat berdasarkan penghasilan bersihnya saja.
Cara yang pertama (bruto), begitu menerima penghasilan/gaji (setelah potong pajak) pemilik harta/muzakki tersebut segera menentukan zakatnya tanpa menguranginya dengan kebutuhan pokok minimum. Istilah bruto disini kaitannya dengan kebutuhan pokok hidup sedangkan kalau dari segi pajak dikategorikan Netto, karena pajak merupakan kewajiban warga Negara terhadap negara. Cara yang kedua (Netto), pemilik harta/muzakki terlebih dahulu mengurangi penghasilan yang mereka terima dengan kebutuhan pokok minimum pemilik harta tersebut.
Beliau menjelaskan perhitungan zakat profesi dibedakan menurut dua cara:1. Secara langsung, zakat dihitung dari 2,5% dari penghasilan kotor (brutto) secara langsung, baik dibayarkan bulanan atau tahunan. Metode ini lebih tepat dan adil bagi mereka yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 3.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar: 2,5% X 3.000.000=Rp 75.000 per bulan atau Rp 900.000 per tahun. 2. Setelah dipotong dengan kebutuhan pokok, zakat dihitung 2,5% dari gaji setelah dipotong dengan kebutuhan pokok (pendapatan bersih, dikurangi utang). Metode ini lebih adil diterapkan oleh mereka yang penghasilannya pas-pasan. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 1.500.000,- dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok Rp 1.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar : 2,5% X (1.500.000-1.000.000)=Rp 12.500 per bulan atau Rp 150.000,- per tahun.
Dengan demikian dapat ditegaskan pendapat yang terpilih tentang kewajiban zakat atas gaji, upah, dan sejenisnya, hanya diambil dari pendapatan bersih (netto). Sebab, lebih adil setelah dipotong dengan kebutuhan pokok (pendapatan bersih, dikurangi utang). Pengambilan dari pendapatan atau gaji bersih dimaksudkan supaya hutang bisa dibayar bila ada dan biaya hidup terendah seseorang dan yang menjadi tanggungannya bisa dikeluarkan karena biaya terendah kehidupan seseorang merupakan kebutuhan pokok seseorang.
Bahkan Al-Qardhawi membedakan antara zakat uang/harta, dan zakat pendapatan/profesi, adalah sbb: Zakat uang dikeluarkan setelah dipotong oleh kebutuhan pokok, menjadi harta sisa atau harta kelebihan. Zakatnya 2.5%, haul 1 thn.  Zakat pendapatan dikeluarkan setelah dipotong oleh biaya-biaya untuk melakukan pekerjaan tersebut seperti hutang-hutang, biaya transport, dan yang sejenis, menjadi pendapatan bersih take home pay, bukan merupakan harta sisa atau kelebihan. Zakatnya 10% atau 5% tiap menerima gaji.
Pertanyaan berikutnya jika tanpa dikurangi utang, penghasilan masih di atas nisab. Apakah masih wajib Zakat (jika masih wajib zakat) atau cukup diniatkan sadaqah saja (jika tidak wajib zakat)?
"Bila engkau memiliki 20 dinar emas dan sudah mencapai satu tahun maka zakatnya setengah dinar (2,5%)". HR Ahmad.
Al-Qardhawi menjelaskan "20 dinar (nisab zakat emas)" ditemukan dalam museum yang menyimpan dinar sejak zaman khalifah Abdul Malik bin Marwan--merupakan dinar pertama yang diciptakan dan disebarluaskan umat Islam bahwa bobot satu dinar itu sama dengan 4,25 gram. Jika 20 dinar beratnya sama dengan 85 gram
Berdasarkan hal itu maka sisa gaji dan pendapatan setahun wajib zakat bila mencapai nisab uang emas 85 gram emas, sedangkan gaji dan upah setahun yang tidak mencapai nisab uang, tidak wajib zakat sangat dianjurkan untuk sedekah atau berinfak sebab hidup kita akan lebih berkah dan bermanfaat.
Al-hasil, apabila seseorang dengan hasil profesinya hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya dan pas-pasan, atau lebih sedikit maka baginya tidak wajib zakat cukup bersedekah saja. Kebutuhan hidup yang dimaksud adalah kebutuhan pokok, yakni, papan (kredit rumah), sandang, pangan dan biaya yang diperlukan untuk menjalankan profesinya.
Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam.
Muhammad Zen, MA

Sabtu, 22 Agustus 2009

Ketentuan Khutbah Jum'at

By Dr. Muzammil Siddiqi
Yang paling penting dalam khutbah jum'at adalah sesuai sunnah nabi saw :

• Khatib/Imam harus berwuduk dan memakai pakaian yang selayaknya untuk Khutbah Jum'at.
• Khutbah harus diberikan dari mimbar. Sesuai sunnah mimbar harus berada diselah kanan mihrab. Seharusnya mempunyai tiga langkah. Khatib harus naik mimbar dan berdiri di tingkat kedua dan duduk di tingkat yang ketiga. Jika mimbar tidak terdapat lebih dari satu maka seseoang boleh berdiri ditingkat manapun. Jika tidak terdapat tingkatan Khatib dapat berdiri di Mushalla berhadapan dengan makmum.
• Khatib harus berdiri dimimbar, sementara berhadapan dengan makmum seraya mengucapkan “Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarokaatuh.” Makmum harus menjawab salam khatib. Dia harus duduk dan azan khutbah harus dikumandangkan.
• Setelah Azan. Imam harus berdiri dan menyampaikan khutbah. Khutbah harus dimulai dengan memuji Allah “Alhamdulillah” (hamdalah), pengucapan dua kalimat syahadah, selawat serta salam kepada Nabi saw. mengutipan ayat paling sedikit tiga ayat Qur'an, dan semua ini harus disampaikan dalam bahasa Arab. Setelah itu Khatib dapat memakai bahasa lain, menyampaikan khutbah pada mayarakat mengingatkannya atas keimanannya dan tugas-tugas keagamaannya.
• Khutbah Jum'at harus dua bagian. Setelah menyelesaikan bagian pertama Khatib harus duduk sebentar (selama tiga ayat pendek atau tiga kali subhanalloh dapat dibacakan).
• Khutbah pertama harus berada dalam berbagai topik perhatian dan berhubungan dengan masyarakat. Dan khutbah kedua harus diakhiri dengan selawat serta salaam kepada Nabi saw serta keluarganya dan do'a bagi seluruh mayarakat. Disarankan dalam memberikan khutbah kedua berdasarkan ibadah yang disarankan (Ad'iyah ma'thurah). Do'a ini harus dibacakan dalam bahasa Arab.
• Disarankan khutbah kedua tidak terlalu panjang dan harus menumbuhkan inspirsi dan menimbulkan semangat. Juga disarankan untuk menghindari pokok bahasan yang bertentangan. Hadirin harus mendengarkan khutbah dengan tenang tanpa memotong. Masyarakat tidak diperkenankan berbicara sesamanya kalau tidak akan merusak ibadahnya antara khutbah.
Tidak perlu menambahkan kata-kata lain selain bahasa Arab anatara azan dan khutbah sebelum dan setelah khutbah dalam bahasa Arab. Penemuan baru harus tidak dilakukan. Khutbah adalah pembicaraan dan pidato pokok dalam sholat jum'at dan ini penting seharusnya tidak dikurangi. Khutbah harus diberikan/ disampaikan setelah azan. Dan dapat diberikan dalam bahasa lokal seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya. Tidak diminta untuk menyampaikan semua khutbah dalam bahasa Arab jika orang yang berbicara kepada orang yang bukan berbahasa Arab.
Banyak Ulama di Pakistan, India dan negara-negara yang bukan berbahsa Arab telah membolehkan khutbah disampaikan dalam bahsa yang bukan Arab. Di tahun 1975 dalam konfrensi Masjid sedunia yang diadakan di Mekkah, beberapa ratus Iman dan Ulama dari seluruh dunia bersepakat untuk menerima khutbah jum'at dan hari raya untuk memakai bahasa selain Arab (bahasa negri masing-masing). Tujuan khutbah adalah untuk mengingatkan masyarakat akan agamanya. Masyarakat yang bukan berbahasa Arab, bagaimana dapat diingatkan?
Orang-orang yang berpendapat bahwa khutbah jum'at harus dilakukan dalam bahasa Arab. Karena khubah adalah bagian dari sholat dan sholat harus dilakukan menurut sunah Nabi saw. Nabi menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab dan kita seharusnya berbuat yang sama. Itu benar bahwa khubah adalah bagian dari sholat Jum'at, tapi ia bukan sholat. Dalam sholat kita tidak berbicara pada orang-orang, dalam khubah kita bicara pada mereka. Dalam sholat kita tidak menambahkan apapun dari apa yang telah kita miliki. Kita telah membaca ayat al-Qur'an dan membacanya hanya dalam sembahyang tersebut demikian telah diajarkan oleh Nabi saw. Dalam khutbah khatib mempersiapkan pesannya sendiri. Mengapa harus memakai bahasa Arab pada mayorita masyarakat yang tidak mengertinya.Mereka yang berpendapat bahwa khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab uga tidak cocok dalam mengajak orang-orang dihari Jum'at. Mereka mencabut keimanan dari keseempatan besar untuk belajar dan membina agamanya.
dikutib dan diterjemahkan dari http://www.muslimnet.com/.... oleh Sobirin Nur.

Jumat, 07 Agustus 2009

Kumpulan Situs Islam

1. Menjadi Muslimah Sejati >>> Link: http://ruangmuslimah.wordpress.com/
2. Arsip Artikel-Artikel Umat Islam >>> Link: http://arsipmuslim.co.nr/
3. Ibrahimovic Journal >>> Link: http://ibrahimovic.wordpress.com/
4. Wisata Hati Blogs >>> Link: http://wisatahati.wordpress.com/
5. Segarkan Hati !!!! Cintailah >>>Link: http://qalbusalim.wordpress.com/
6. Arsip Moslem >>> Link: http://arsipmoslem.wordpress.com/
7. Arsip Moslem >>>Link: http://arsipsiroh.wordpress.com/
8. Menuju Era Dakwah Tanpa Batas >>> Link: http://www.percikan-iman.com/
9. Aldakwah.org :: Mitra Dakwah dan Pendidikan
10. Media Islam - Situs dari dan Untuk Umat Islam >>> Link: http://www.mediaislam.cjb.net/
11. Komunitas Tarbiyah London >>>Link: http://tarbiyahlondon.multiply.com/
12. Komite Tarbiyah Umat Islam Indonesia >>>Link: http://ktpdi.isnet.org/
13. Jihad Kaum Muslimin di Bumi Palestina & Sekitarnya >>>Link: http://pedulipalestina.cjb.net/
14. Wanita Islam Di Dalam Perjalanan
15. Wanita Islam Di Dalam Perjalanan >>>Link: http://moslemwomen.cjb.net/
16. Media Muslim Community Forum >>>Link: http://www.mediamuslim.info/forummuslim
17. http://www/.islammuda.com
18. http://www.forumislam.tk
19. The Spirit of Muslim >>> http://www.MuslimSources.com
20. My Alazka.com: Komunitas Gaul Muslim Alazka
21. Muslimah Sejati, Jadilah Muslimah Kaffah!!! >>>Link: http://mediamuslimah.wordpress.com
22. Aqidah Islam WebBlogs >>> Link: http://aqidahislam.wordpress.com
DKM ‘ibaadurrahmaan Fakultas Kehutanan IPB
Syariah Online
Al-Ikhwan.net
Kisah Seputar Umat Islam
pk-sejahtera.org ::
KAMMI Jepang
Madah Tarbiyah
Kaderisasi Umat Menuju Keadilan Sejahtera
Moslem Community WebBlogs
Sejarah Berita Siroh & Kisah KisahIslam.COM - Serambi Depan
Info Palestina ::: Save Palestina From Laknatulloh Yahudi
Islamic Space Online
Tarbiyah.com
Media Muslim INFO, Situs Islam Terdepan Terpercaya
MyQuran.Org
:: PKPU Online
Ahlan wa sahlan fi ukhuwah.or.id
Eramuslim: Situs Warta Muslim
Kumpulan E Book Islam

Khalifah Umar ibnul Khaththab

Sunday, 26 October 2008 09:11

Ia adalah Amirul Mu'minin Umar ibnul Khaththab. Dijuluki oleh ­Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dengan al-Faruq karena ia membedakan antara yang hak dan yang batil. Ia dibaiat menjadi khalifah ­pada hari kematian Abu Bakar ash-Shidiq. Selama masa khalifahnya, ia ­melakukan tugasnya dengan baik seperti halnya sirah, jihad, dan ­kesabaran Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu. Dengan Umar ibnul Khaththab Allah memuliakan Islam.Hal pertama yang dilakukannya setelah menjabat sebagai khalifah ialah mencopot Khalid bin Walid dari jabatan sebagai komandan pasukan dan menggantinya dengan Abu Ubaidah.Ia ikut menyaksikan penaklukan Baitul Maqdis dan tinggal di sana selama sepuluh hari. Ia kemudian kembali ke Madinah dengan ­membawa serta Khalid bin Walid. Tatkala Khalid bin Walid menanyakan ­perlakuan Umar terhadap dirinya, Umar Radhiyallahu 'anhu menjawab, "Demi Allah! Wahai Khalid, sesungguhnya engkau sangat kumuliakan dan sangat kucintai."
Umar kemudian menulis surat ke berbagai negeri dan wilayah ­menyatakan kepada mereka,
"Sesungguhnya, aku tidak memecat Khalid karena kebencian dan tidak pula karena pengkhianatan, tetapi aku memecatnya karena mengasihani jiwa-jiwa manusia dari kecepatan serangan-­serangannya dan kedahsyatan benturan-benturannya."Khalid bin Walid merupakan seorang putra dari bibinya Umar. Ia meninggal pada masa Khalifah Umar di Hamat.Damakus berhasil ditaklukkan dengan dua cara, damai dan kekerasan. Adapun Hamsh dan Ba'albak ditaklukkan secara damai. Bashrah dan Aballah ditaklukkan dengan cara kekerasan. Semua penaklukkan ini terjadi pada tahun 14 Hijriah.Di tahun ini pula Umar menghimpun orang-orang untuk shalat tarawih berjamah dua puluh rakaat.Pada tahun 15 Hijriah, Yordania secara keseluruhan berhasil ditaklukkan melalui kekerasan kecuali Thabriah yang ditundukkan dengan damai. Pada tahun ini terjadi pula perangYarmuk dan Qadisiah. Berkata Ibnu Jurair di dalam Tarikh-nya, "Pada tahun ini, Sa'ad mem­bangun Kufah, Umar menentukan sejumlah kewajiban, membentuk diwan-diwan, dan memberi pemberian berdasarkan senioritas dalam memasuki Islam.Pada tahun 16 Hijriah, al-Ahwaz dan Mada'in ditaklukkan. Di kota ini, Sa'ad menyelenggarakan shalat Jum'at, bertempat di Istana Kisra. Ini merupakan shalat Jum'at berjamah yang pertama diadakan di Irak.Umar meminta pendapat para sahabat termasuk Ali Radhiyallahu 'anhu untuk keluar memerangi Persia dan Romawi, lalu Ali Radhiyallahu 'anhu mengemukakan pendapatnya, "Sesungguhnya, masalah ini (peluang) menang dan kalahnya tidak banyak dan juga tidak sedikit. Ia adalah agama Allah yang dimenangkan-Nya dan tentara-Nya yang dipersiapkan-Nya dan disebarkan-Nya hingga ke tempat yang telah dicapainya .... Posisi pemerintah (penguasa) bagaikan posisi benang dalam mata rantai biji tasbih. Jika benang itu putus, biji-biji tasbih itu akan berantakan dan hilang .... Jadilah poros dan putarlah roda dengan bangsa Arab .... "Di tahun yang sama (16 H), terjadi pula Perang Jalaula'. Yazdasir putra Kisra berhasil dikalahkan. Takrit berhasil ditaklukkan. Umar berangkat berperang kemudian menaklukkan Baitul Maqdis dan menyampaikan khotbahnya yang sangat terkenal di al-Jabiah. Pada tahun ini juga, Qanasrin ditaklukkan dengan kekerasan. Haleb, Anthokiah, dan Manbaj ditundukkan bukan secara damai. Pada bulan Rabi'ul Awwal tahun ini, Umar menulis kalender Hijriah dengan meminta pertimbangan Ali Radhiyallahu 'anhu.Tahun 17 Hijriah, Khalifah Umar memperluas Masjid Nabawi. Kemarau panjang terjadi sehingga beliau mengajak penduduk untuk shalat minta hujan. Dengan perantaraan do'a Abbas, hujan pun turun. Ibnu Sa'ad meriwayatkan bahwa Umar keluar untuk shalat meminta hujan; ia mengenakan selendang Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam. Pada tahun ini pula, al-Ahwaz ditaklukkan secara damai.WABAH THA'UNPasukan kaum Muslimin yang tengah berada di Syam mendapat musibah wabah tha'un pada tahun 12 Hijriah. Setelah mendengar berita ini, Umar yang tengah menuju Madinah berkeinginan untuk kembali lagi ke Syam. Beliau lalu meminta pendapat para sahabatnya. Menang­gapi masalah ini, pada mulanya para sahabat berselisih pendapat, tetapi kemudian Abdurrahman bin Auf datang seraya memberitakan bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,"Apabila kalian mendengar terjadinya suatu wabah di suatu negeri, janganlah kalian datang ke negeri tersebut. Dan apabila terjadi wabah di suatu negeri, sedangkan kalian tengah berada di negeri tersebut, janganlah kalian keluar melarikan diri dari sana. "Karena itu, Umar kembali lagi ke Madinah.
Pada tahun 19 Hijriah, Qisariah ditaklukkan dengan kekerasan. Tahun berikutnya, 12 Hijriah, Mesir ditundukkan dengan kekerasan. Dikatakan bahwa Mesir secara keseluruhan ditaklukkan secara damai kecuali Iskandariah. Di tahun ini pula, Maroko ditaklukkan dengan kekerasan. Kaisar Agung Romawi binasa pada tahun yang sama. Khalifah Umar mengusir Yahudi dari Khaibar dan Najran.Tahun 21 Hijriah, Iskandariah dan Nahawand ditaklukkan melalui kekerasan sehingga orang-orang 'ajam tidak memiliki kekuatan terorganisir lagi. Tahun 22 Hijriah, Adzerbaijan ditaklukkan dengan kekuatan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa negeri ini ditaklukkan dengan cara damai. Pada tahun ini pula, Dainur, Hamdan, Tripoli Barat, dan Rayyi ditaklukkan melalui kekuatan. Pada tahun ke­ 23 Hijriah, sisa-sisa negeri Persia ditaklukkan: Kroman, Sajistan, Ashbahan, dan berbagai pelosoknya. Pada akhir tahun ini, Khalifah Umar menunaikan ibadah haji. Sa'id bin Musayyab berkata, "Setelah nafar (berangkat) dari Mina, Umar singgah di Abthakh kemudian duduk bersila dan mengucapkan do'a seraya mengangkat kedua tangannya,"Ya Allah, usiaku telah lanjut, kekuatanku telah mulai lemah, rakyatku telah tersebar luas. Karenanya, panggillah aku kepada­Mu tanpa ada kewajiban yang aku sia-siakan atau amalan yang melewati batas.”Pada penghujung bulan Dzulhijjah tahun ini, Umar ibnul Khaththab syahid terbunuh.Bukhari meriwayatkan dari Aslam bahwa Khalifah Umar pernah berdo'a,
"Ya Allah, karuniailah aku mati syahid di jalan-Mu dan jadikan­lah kematianku di negeri Rasul-Mu.”
TERBUNUHNYA KHALIFAH UMAR
Orang yang membunuh Umar adalah seorang Majusi bernama Abdul Mughirah yang biasa dipanggil Abu Lu'lu'ah. Disebutkan bahwa ia membunuh Umar karena ia pernah datang mengadu kepada Khalifah Umar tentang berat dan banyaknya kharaj (pajak) yang harus dia keluarkan, tetapi Khalifah Umar menjawab, "Kharajmu tidak terlalu banyak." Dia kemudian pergi sambil menggerutu, "Keadilannya men­jangkau semua orang kecuali aku." Ia lalu berjanji akan membunuhnya. Dipersiapkanlah sebuah pisau belati yang telah diasah dan diolesi dengan racun -orang ini adalah ahli berbagai kerajinan- lalu disimpan di salah satu sudut masjid. Tatkala Khalifah Umar berangkat ke masjid seperti biasanya menunaikan shalat subuh, langsung saja ia menyerang. Dia menikamnya dengan tiga tikaman dan berhasil merobohkannya. Kemudian setiap orang yang berusaha mengepung dirinya diserangnya pula. Sampai ada salah seorang yang berhasil menjaringkan kain kepadanya. Setelah melihat bahwa dirinya terikat dan tidak bisa ber­kutik, dia membunuh dirinya dengan pisau belati yang dibawanya.
Itulah berita yang disebutkan para perawi tentang pembunuhan Umar Radhiyallahu 'anhu. Barangkali di balik peristiwa pembunuhan ini terdapat konspirasi yang dirancang oleh banyak pihak di antaranya orang-orang Yahudi, Majusi, dan Zindiq. Sangat tidak mungkin per­buatan kriminal ini dilakukan semata-mata karena kekecewaan pribadi karena banyaknya kharoj yang harus dikeluarkannya. Wallahu a'lam.Ketika diberitahukan bahwa pembunuhnya adalah Abu Lu’lu’ah, Khalifah Umar berkata, "Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan orang yang mengaku Muslim." Umar kemudian berwasiat kepada putranya, "Wahai Abdullah, periksalah utang-­utangku!"Setelah dihitung, ternyata Umar mempunyai utang sejumlah 86.000 dirham. Khalifah Umar lalu berkata, "Jika harta keluarga Umar sudah mencukupi, bayarlah dari harta mereka. Jika tidak mencukupi, pintalah kepada bani Addi. Jika harta mereka juga belum mencukupi, mintalah kepada Quraisy." Selanjutnya Umar berkata kepada anaknya, "Pergilah menemui Ummul Mu'minin Aisyah! Katakan bahwa Umar meminta izin untuk dikubur berdampingan dengan kedua sahabatnya (maksudnya Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu)." Mendengar permintaan ini, Aisyah Radhiyallahu 'anha menjawab, "Sebetulnya tempat itu kuinginkan untuk diriku sendiri, tetapi biarlah sekarang kuberikan kepadanya." Setelah hal ini disampaikan kepadanya, Umar langsung memuji Allah.
Umar Menunjuk Salah Seorang Dari Ahli Syura
Sebagian sahabat berkata kepada Umar, "Tunjuklah orang yang engkau pandang berhak menggantikanmu." Umar kemudian menjadi­kan urusan ini sepeninggalnya sebagai hal yang disyurakan antara enam orang, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu 'anhum. Umar berkeberatan menunjuk salah seorang di antara mereka secara tegas. Selanjutnya Umar berkata, "Saya tidak menanggung urusan mereka semasa hidup ataupun sesudah mati. Jika Allah menghendaki kebaikan buat kalian, Allah akan menghimpun urusan kalian pada orang yang terbaik di antara mereka sebagaimana Allah telah menghimpun kalian pada orang yang terbaik di antara kalian sesudah Nabi kalian."Dengan demikian, Umar merupakan orang pertama yang membentuk "tim" dari para sahabat dan dinamakan dengan Ahli Syura kemudian menyerahkan urusan khalifah sepeninggalnya kepadanya. Dengan demikian, mereka ini merupakan "Lembaga Politik" tertinggi dalam pemerintahan.Bagaimana berlangsungnya pemilihan Utsman?Ahli Syura yang telah ditunjuk oleh Umar tersebut mengadakan pertemuan di salah satu rumah guna membahas masalah ini. Sementara itu,Thalhah berdiri di pintu rumah guna menjaga dan melarang orang-­orang untuk memasuki pertemuan tersebut. Dalam syura diperoleh kesepakatan bahwa tiga orang di antara mereka telah menyerahkan masalah khalifah kepada tiga orang lainnnya. Zubair menyerahkannya kepada Ali, Sa'ad menyerahkannya kepada Abdurrahman bin Auf, sedangkan Thalhah memberikan haknya kepada Utsman bin Affan.Abdurrahman bin Auf berkata kepada Utsman dan Ali, "Siapa­kah di antara kalian berdua yang melepaskan diri dari perkara ini maka kepadanya akan kami serahkan!" Keduanya diam tidak mem­berikan jawaban. Abdurrahman lalu berkata, "Sesungguhnya, aku meninggalkan hakku terhadap perkara ini dan merupakan kewajibanku kepada Allah dan Islam untuk berusaha guna mengangkat orang yang paling berhak di antara kalian berdua." Keduanya menjawab, "Ya." Abdurrahman bin Auf kemudian berbicara kepada masing-masing dari keduanya sambil menyebutkan keutamaan yang ada pada keduanya. Ia lalu mengambil janji dan sumpah, "Bagi siapa yang diangkat, ia harus berlaku adil dan siapa yang dipimpin harus mendengar dan taat." Keduanya menjawab, "Ya." Mereka kemudian berpisah.Setelah itu, Abdurrahman bin Auf meminta pendapat dari khalayak ramai tentang kedua orang (calon khalifah) ini, sebagaimana ia juga meminta pandangan dari para tokoh dan pimpinan mereka, baik secara bersamaan maupun terpisah, dua-dua, sendiri-sendiri, atau berkelompok, secara sembunyi ataupun terang-terangan. Bahkan kepada para wanita yang bercadar, anak-anak di berbagai perkantoran, orang-orang Arab Badui, dan para pendatang yang datang ke Madinah. Proses (hearing) ini dilakukannya selama tiga hari tiga malam sampai akhirnya didapat kebulatan suara yang menghendaki agar Utsman bin Affan didahulukan kecuali dua orang, yaitu Ammar bin Yassir dan Miqdad, yang menghendaki agar Ali didahulukan, tetapi kemudian kedua orang ini bergabung kepada pendapat mayoritas.Pada hari keempat, Abdurahman bin Auf mengadakan perte­muan dengan Ali dan Utsman di rumah anak saudara perempuannya, Musawwir bin Makhramah. Dalam pertemuan ini, Abdurahman bin Auf menjelaskan, "Setelah kutanyakan pada orang-orang tentang Anda berdua, kudapati tidak seorang pun di antara mereka yang menolak Anda berdua." Abdurahman bin Auf kemudian keluar bersama keduanya menuju masjid dan mengundang orang-orang Anshar dan Muhajirin sampai mereka berdesakan di masjid. Abdurahman bin Auf naik ke mimbar Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam lalu menyam­paikan pidato dan berdo'a panjang sekali. Dalam pidatonya itu, ia mengatakan,"Wahai manusia, sesungguhnya aku telah menanyakan kepada kalian secara tersembunyi dan terang-terangan tentang orang yang paling kalian percaya dapat mengemban amanat (khalifah), lalu aku tidak melihat kalian menghendaki selain dari kedua orang ini, Ali atau Utsman. Karenanya, berdirilah dan kema­rilah, wahai Ali."Setelah Ali berdiri dan mendekatinya, Abdurrahman bin Auf menjabat tangan Ali seraya berkata, "Apakah kamu berbaiat kepadaku (untuk memimpin) atas dasar Kitab Allah, Sunnah Nabi-Nya, perbuatan Abu Bakar dan Umar?" Ali menjawab, "Tidak, tetapi sesuai usaha dan kemampuanku untuk itu."Abdurrahman kemudian melepas tangannya lalu berkata, "Berdirilah dan kemarilah, wahai Utsman. Ia kemudian menjabat tangan Utsman seraya berkata, "Apakah kamu berbaiat kepadaku (untuk memimpin) atas dasar Kitab Allah, Sunnah Nabi-Nya, perbuatan Abu Bakar dan Umar?" Utsman menjawab, "Ya."Abdurrahman kemudian mengangkat kepalanya ke arah atap masjid dan meletakkan tangannya di tangan Utsman seraya berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku telah melepaskan amanat yang terpikulkan di atas tengkukku dan telah kuserahkan ke atas tengkuk Utsman." Orang-orang pun kemudian berdesakan membaiat Utsman di bawah mimbar. Ali Radhiyallahu 'anhu adalah orang yang pertama membaiatnya. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Ali merupakan orang yang terakhir membaiatnya.
Beberapa Ibrah
Pertama, telah kita ketahui bahwa tindakan pertama yang dila­kukan oleh Umar Radhiyallahu 'anhu adalah memecat Khalid bin Walid. Kebanyakan penulis kontemporer telah melakukan kesalahan dalam menanggapi masalah pemecatan ini. Mereka menjadikannya bahan untuk menggugat kedudukan Khalid, padahal penafsiran dari pemecatan ini dapat dilihat dengan jelas dalam tindakan Umar sendiri dalam ucapan yang diucapkan tentang Khalid dan dalam pujian yang disampaikannya kepada Khalid. Seperti telah kami sebutkan, Umar berkata kepada Khalid,"Demi Allah, wahai Khalid, sesungguhnya engkau sangat ku­muliakan dan sangat kucintai." Umar kemudian menulis surat ke berbagai wilayah, menjelaskan sebab pemecatan Khalid bin Walid, "Sesungguhnya, aku tidak memecat Khalid karena kebencian dan tiduk pula karena pengkhianatan, tetapi aku memecat­nya karena mengasihani jiwa-jiwa manusia dari kecepatan se­rangan-serangannya dan kedahsyatan benturan-benturannya. "Ketika diberi tahu tentang sakitnya Khalid, Khalifah Umar yang waktu itu berada di suatu tempat langsung pergi ke tempat Khalid di Madinah dengan menempuh perjalanan selama semalam, padahal biasanya ditempuh selama tiga hari. Ketika Umar tiba di tempat tersebut, Khalid sudah wafat, lalu Umar mengucapkan, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un," dengan penuh kesedihan. Umar kemudian duduk di pintu rumah Khalid sampai selesai pengurusan jenazahnya. Ketika kematiannya ditangisi oleh sejumlah wanita lalu dikatakan kepada Umar, "Tidakkah engkau mendengarnya? Mengapa engkau tidak melarang mereka?" Umar menjawab, "Tidaklah apa-apa wanita-wanita Quraisy menangisi Abu Sulaiman selama tidak meratapi dan bukan karena kecemasan."Ketika mengantar jenazahnya, Umar melihat seorang wanita Muslimah menangisinya. Umar lalu bertanya, "Siapa orang ini?" Dika­takan kepadanya, "Ibunya." Umar berkata penuh keheranan, "Ibunya? Itu sungguh mengagumkan (tiga kali)!" Umar kemudian berkata, "Apakah wanita lain yang melahirkan orang seperti Khalid?"Kedua, teks yang kami sebutkan di atas menegaskan bahwa Khalid meninggal dan dikebumikan di Madinah. Ini merupakan pen­dapat sebagian ahli sejarah. Akan tetapi, jumhur memandang bahwa sebenarnya Khalid meninggal dan dikuburkan di Hamsh (Suriah). Pendapat yang terakhir inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir di dalam al-Bidayah wan-Nihayah. Sebab, menurut riwayat yang kuat, setelah dipecat oleh Umar, Khalid melakukan ibadah umrah kemudian kembali ke Syam dan menetap di Syam sampai meninggal pada tahun 21 Hijriah.Demikianlah sikap Umar yang selalu memuji Khalid, baik di waktu masih hidup maupun sesudah kematiannya. Ibnu Katsir meriwa­yatkan dari al-Wakidi bahwa Umar pernah melihat rombongan haji datang dari Hamsh lalu ia bertanya, "Adakah berita yang harus kami ketahui?" Mereka menjawab,"Ya, Khalid telah wafat." Umar kemudian mengucapkan, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un,’ lalu berkata, "Demi Allah, ia sangat mahir dan tepat menebas tengkuk-tengkuk musuh. Ia adalah seorang tokoh yang tepercaya."

Pujian Umar kepada Khalid tersebut tidak bertentangan dengan sebagian sikap yang bersifat ijtihadiah yang memungkinkan terjadinya perbedaan antara keduanya kemudian masing-masing dari keduanya bertindak sesuai pandangan yang diyakininya.

Sebaiknya mereka yang menggugat kedudukan Khalid karena sikap Umar terhadapnya atau orang-orang yang menggugat kedudukan Umar karena sikap tersebut, mereka memahami permasalahan dari segala seginya dan membedakan antara sikap ijtihadiah yang dijamin mendapat pahala betapapun hasilnya dan penyimpangan pemikiran atau perilaku yang tidak mungkin dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.

Ketiga, di antara hal paling menonjol yang dapat dicatat oleh setiap orang yang memperhatikan Khalifah Umar ialah kerja sama yang bersih dan istimewa antara Umar dan Ali Radhiyallahu 'anhum. Dalam khilafah Umar, Ali menjadi mustasyar awwal (penasihat pertama) bagi Umar dalam semua persoalan dan problematika. Setiap kali Ali mengusulkan suatu pendapat, Umar selalu melaksanakannya dengan penuh kerelaan sehingga Umar pernah berkata, "Seandainya tidak ada Ali, niscaya Umar celaka."

Ali bin Abu Thalib dengan penuh keikhlasan dan kecintaan memberikan nasihat kepadanya dalam segala urusan dan persoalan. Seperti Anda ketahui bahwa Umar pernah meminta pendapatnya tentang keinginannya untuk berangkat sendiri memimpin pasukan guna memerangi orang-orang Persia, kemudian Ali menasihatinya dengan suatu nasihat yang mencerminkan kecintaannya kepada Umar. Ali menasihatinya supaya tidak berangkat, tetapi cukup dengan meng­gerakkan roda peperangan dengan orang-orang Arab yang ada di bawah kekuasaannya. Diperingatkannya, jika ia berangkat, hal itu niscaya akan menimbulkan berbagai peluang yang lebih berbahaya daripada musuh yang akan dihadang-Nya itu sendiri.

Seandainya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah menge­mukakan bahwa khilafah sesudahnya harus diserahkan kepada Ali Radhiyallahu 'anhu, apakah mungkin Ali Radhiyallahu 'anhu akan berpaling dari perintah Rasulullah tersebut dan mendukung orang-orang yang merampas haknya atau merampok kewajibannya dalam memegang khilafah dengan dukungan kerja sama yang demikian ikhlas dan konstruktif? Mungkinkah seluruh sahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam mengabaikan perintah Rasulullah tersebut? Mungkinkah semua sahabat itu telah bersepakat -terutama Ali- untuk tidak melak­sanakan perintah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam tersebut?

Keempat, sebagaimana khilafah Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu datang pada saat yang tepat, di mana tidak layak pada saat itu kecuali Abu Bakar, demikian pula khilafah Umar. Beliau menjadi orang yang paling tepat untuk memegang khilafah pada saat itu. Di antara hal yang paling mulia yang pernah dilakukan Abu Bakar ialah mengokohkan kembali Islam sebagai bangunan dan negara serta keyakinan di dalam
jiwa, setelah terjadinya keguncangan menyusul kematian Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam. Hal paling agung yang pernah dilakukan Umar ialah memperluas futuhat Islamiyah ke ujung negeri-negeri Per­sia, Syam, dan Maghrib (Maroko). Membangun negeri-negeri Islam, membentuk berbagai diwan, dan mengokohkan pilar-pilar negara Islam sebagai negara peradaban yang paling kuat di permukaan bumi.

Ini menunjukkan sejauh mana hikmah Allah dalam memelihara para hamba-Nya dan mewujudkan sarana kebaikan dan kebahagiaan bagi mereka dalam kehidupan pribadi dan sosial.

Kelima, kami mengatakan tentang cara pemilihan Khalifah Utsman sebagaimana yang telah kami katakan tentang Khalifah Umar. Menunjuk seorang pengganti dalam kekhalifahan (al-'ahdu bil-khalifah) merupakan proses yang ditempuh untuk Khalifah Umar dan Utsman. Perbedaan antara keduanya bahwa Abu Bakar menunjuk Umar secara langsung, sedangkan Umar menunjuk seorang penggantinya di antara enam orang yang menjadi anggota Majelis Syura kemudian menyerah­kan pemilihannya kepada kaum Muslimin.

Seperti telah Anda ketahui, pemilihan Utsman di antara enam orang yang diajukan tersebut berlangsung dengan musyawarah dari keenam orang itu sendiri, kemudian dengan musyawarah dan baiat kaum Muslimin atau Ahlul Halli wal-'Aqdi. Ali Radhiyallahu 'anhu adalah salah seorang di antara enam orang yang ditunjuk dan merupakan orang yang pertama membaiat Utsman Radhiyallahu 'anhu.

Dengan demikian, kita mengetahui secara gamblang bahwa kaum Muslimin sampai periode ini masih merupakan satu jamaah. Tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang mempermasalahkan urusan khilafah atau mempertanyakan siapakah orang yang paling berhak memegangnya? Yang ada hanyalah proses musyawarah dan pembahasan dalam setiap tuntutan untuk memilih khalifah secara syar'i dan sehat.

Apa pun usaha yang Anda kerahkan, sesungguhnya Anda tidak akan dapat menemukan, pada seluruh periode ini (khilafah Abu Bakar, Umar dan Utsman), adanya perdebatan atau diskusi tentang al-Qur'an atau Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah menunjuk ataukah tidak. Anda pun tidak akan menemukan kritik atau tindakan menya­lahkan cara yang ditempuh dalam proses pengangkatan ketiga khalifah tersebut.

Lalu, kapan dan atas dorongan apa terjadinya perpecahan yang telah memecah belah jamaah Muslimin menjadi dua kubu yang ber­tentangan karena masalah khilafah, padahal selama tiga periode khilafah, mereka hidup bersatu dan bekerjasama secara rapi?

Masalah ini akan kami sebutkan tatkala membahas Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa beliau.

Sumber: Tarikhul Khulafa' dan Al-Bidayah wan-Nihayah