Kamis, 06 Agustus 2009

Muhammad bin Abdul Wahab Penegak Panji Tauhid

Bersama Amir Dir'iyyah Muhammad bin Sa'ud saling beramal dalam upaya menegakkan dakwah Islamiyah. Nantinya sebagai asas dan pondasi berdirinya Daulah Jadidah (Saudi Arabia)
Hidayatullah.com--
Pada abad 12 H/17 M keadaan umat di jazirah Arab sangat jauh menyimpang dari ajaran Islam, terutama dalam aspek akidah. Di sana-sini banyak praktik syirik dan bid’ah. Para ulama sulit mengatasi. Usaha mereka hanya sebatas di lingkungan saja dan tidak berpengaruh secara luas, atau hilang ditelan oleh arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang.Jumlah pelaku syirik dan bi’dah begitu banyak, di samping pengaruh kuat dari tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung praktik-praktik tersebut demi kelanggengan pengaruh mereka atau karena mencari kepentingan duniawi di belakang itu, sebagaimana masih kita saksikan di tengah-tengah sebagian umat Islam sekarang ini.Dari segi aspek politik, di jazirah Arab berada di bawah kekuasaan yang terpecah-pecah. Terlebih khusus di daerah Nejd. Perebutan kekuasaan selalu terjadi di sepanjang waktu, sehingga hal tersebut sangat berdampak negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.Para penguasa makmur dengan memungut upeti dari rakyat jelata. Mereka sangat marah bila ada kekuatan atau dakwah yang dapat menggoyang kekuasaan mereka. Para tokoh adat dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikut mereka, akan kehilangan objek jika pengikut mereka mengerti tentang akidah dan agama dengan benar. Dari sini mereka sangat hati-hati bila ada seseorang yang mencoba memberi pengertian kepada umat tentang akidah atau agama yang benar.Pada saat itu di Nejd lahir sang pengibar bendera tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, di masa itu pengaruh keagamaan melemah di dalam tubuh kaum muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya. Ilmu agama mulai minim di kalangan kebanyakan kaum muslimin, sehingga praktik-praktik syirik terjadi di sana-sini, seperti meminta ke kuburan wali-wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajian, atau mempercayai dukun, tukang tenung, dan peramal.Di Nejd terdapat kampung bernama Jubailiyah. Di situ terdapat kuburan sahabat Zaid bin Khaththab (saudara Umar bin Khaththab) yang syahid dalam perperangan melawan Musailamah Al Kadzab. Manusia berbondong-bondong ke sana untuk meminta berkah dan meminta berbagai hajat. Begitu pula di kampung ‘Uyainah, terdapat sebuah pohon yang diagungkan. Banyak orang mencari berkah ke situ, termasuk para kaum wanita yang belum mendapatkan pasangan hidup.Penyimpangan bahkan juga terjadi di Hijaz (Mekkah dan Madinah), walaupun penyebaran ilmu agama berada di dua kota suci ini. Di sini tersebar kebiasaan bersumpah dengan selain Allah. Juga kebiasaan menembok serta membangun kubah-kubah di atas kuburan, serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan atau untuk menolak mara bahaya. Jika di dua kota suci itu saja kesyirikan sudah begitu menyebar, apalagi di kota-kota sekitarnya, ditambah lagi dengan kurangnya ulama. Pasti lebih memprihatinkan.Hal tersebut kemudian disebut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya al-Qawa’id Arba’, “Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu. Kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya. Sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya”. Dalilnya firman Allah,“Maka apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama padanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, seketika mereka kembali berbuat syirik.” (QS. al-Ankabut: 65)
Dalam ayat ini Allah terangkan bahwa ketika mereka berada dalam ancaman tenggelam dalam lautan, mereka berdoa hanya semata kepada Allah dan melupakan berhala atau sesembahan mereka. Namun saat mereka telah selamat sampai di daratan, mereka kembali berbuat syirik. Tetapi pada zaman sekarang orang melakukan syirik setiap saat dalam kondisi apa pun.Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab lahir tahun 1115 H di ‘Uyainah, salah satu perkampungan daerah Riyadh. Ia hidup di tengah-tengah keluarga yang dikenal dengan nama keluarga Musyarraf (Ali Musyarraf). Ali Musyarraf ini cabang atau bagian dari Kabilah Tamim yang terkenal. Sedangkan Musyarraf, kakek beliau ke-9 menurut riwayat yang rajih. Dengan demikian nasab beliau adalah Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf.Muhammad bin Abdul Wahab telah menampakkan semangat thalabul-ilmi sejak usia belia. Beliau memiliki kebiasaan yang sangat berbeda dengan anak-anak sebayanya. Beliau tidak suka dengan main-main dan perbuatan yang sia-sia. Beliau mulai thalabul-ilmi dengan mendalami al-Qur'anul Karim, sehingga tidak aneh kalau sudah hafal ketika umur 10 tahun.Yang demikian itu terjadi karena banyak faktor mendukungnya. Di antaranya semangat yang sangat menggebu-gebu dalam menuntut ilmu, serta keadaan lingkungan keluarga yang benar-benar mendorong dan memicu beliau untuk terus-menerus menuntut ilmu. Dan Syaikh Abdul Wahab-lah guru dan sekaligus orang tua beliau yang pertama-tama mencetak kepribadian beliau.Dalam satu suratnya kepada temannya, Syaikh Abdul Wahab berkata, "Sesungguhnya dia (Muhammad bin Abdul Wahab) memiliki pemahaman yang bagus. Kalau seandainya dia belajar selama satu tahun niscaya dia akan hafal, mapan serta, menguasai apa yang dia pelajari. Aku tahu bahwasanya dia telah ihtilam (baligh) pada usia dua belas tahun. Dan aku melihatnya sudah pantas menjadi imam, maka aku jadikan dia sebagai imam shalat berjamaah karena ma'rifah dan ilmunya tentang ahkam. Dan pada usia balighnya itulah aku nikahkan dia. Kemudian setelah nikah, dia meminta izin kepadaku untuk berhaji, maka aku penuhi permintaannya dan aku berikan segala bantuan demi tercapai tujuannya tersebut. Lalu berangkatlah dia menunaikan ibadah haji, salah satu rukun dari rukun-rukun Islam."Berguru pada Ulama HaramainSetelah berhaji beliau belajar pada para ulama Haramain (Makkah dan Madinah) selama lebih kurang dua bulan. Kemudian setelah itu kembali lagi ke daerah Uyainah. Setelah pulang dari haji beliau terus memacu belajar. Beliau belajar dari ayah yang sekaligus guru pelajaran Fiqih Hambali, tafsir, hadits, dan tauhid.Tidak berapa lama kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menunaikan ibadah haji kedua kalinya. Kemudian menuntut ilmu pada para ulama Madinah Al-Munawarah. Di Madinah beliau belajar dengan serius, dan Madinah saat itu adalah tempat berkumpulnya ulama dunia. Di antara guru beliau yang paling beliau kagumi dan senangi adalah Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi. Setelah beliau merasa cukup menuntut ilmu dari para ulama Madinah al-Munawwarah, maka beliau kembali lagi ke kampung halaman, Uyainah.Setahun kemudian beliau memulai berkelana thalabul-ilmi. Negeri yang dicita-citakan untuk menuntut ilmu adalah Syam. Kota Damaskus saat itu sebuah kota yang sarat akan kegiatan keislaman. Di sana terdapat sebuah madrasah yang memberikan keilmuan tentang madzhab Hambali, dan kegiatan-kegiatan yang menunjang keilmuan tersebut. Namun karena perjalanan dari Najd menuju Damaskus secara langsung sangat sulit, maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab pergi menuju Bashrah (Irak). Pada saat itu beliau berkeyakinan bahwa perjalanan dari Bashrah menuju Damaskus sangatlah mudah.Setelah di Bashrah, ternyata apa yang beliau yakini sementara itu tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Perjalanan dari Basrah menuju Damaskus yang semula dianggap mudah, ternyata sulit. Maka bertekadlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab tinggal di Bashrah. Beliau belajar fiqih dan hadits pada sejumlah ulama, di antaranya bernama Syaikh Muhammad al-Majmu'i. Di samping ilmu fiqih dan hadits beliau juga mendalami ilmu Qawaidul-Arabiyyah, sehingga beliau betul-betul menguasainya. Bahkan selama tinggal di Bashrah beliau sempat mengarang beberapa kitab yang berkenaan dengan Qawaidul Lughah al-Arabiyyah.Ternyata tidak semua orang yang ada di Bashrah senang terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan ulama-ulama yang sepemikiran dengan beliau, khususnya para ulama suu'. Karena ulah dan permusuhan mereka terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab itulah, akhirnya beliau dengan berat hati meninggalkan negeri Bashrah.Kemudian beliau pergi menuju suatu tempat bernama az-Zubair. Setelah perjalanan beberapa saat di sana, beliau melanjutkan perjalanan menuju al-Ahsaa'. Di daerah tersebut beliau melanjutkan studinya dengan belajar ilmu agama pada para ulama al-Ahsaa'. Di antara guru-guru beliau yang ada di al-Ahsaa' tersebut adalah Syaikh Abdullah bin Fairuz, Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif, serta Syaikh Muhammad bin Afaliq. Dan memang Ahsaa' saat itu merupakan gudangnya ilmu sehingga orang-orang Najd dan orang-orang sebelah timur jazirah Arab berdatangan ke Ahsaa' untuk menuntut ilmu.Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab melanjutkan kelana thalabul-ilmi ke daerah Haryamala dan tiba di sana pada tahun 1115H. Kebetulan ayah beliau yang tadinya menjadi qadhi di Uyainah, telah pindah ke daerah tersebut. Maka berkumpullah beliau dengan ayahnya di sana.Tapi baru dua tahun bertemu dan berkumpul dengan orang tua, Syaikh Abdul Wahab bin Sulaiman meninggal dunia, tepatnya pada tahun 1153H. Sepeninggal ayahnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menggantikan ayahnya dalam melaksanakan segala aktivitasnya di negeri Haryamala tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat nama beliau mulai tersohor. Sehingga orang-orang pun berdatangan ke Haryamala menuntut ilmu pada beliau. Bahkan para pemimpin negeri di sekitar Haryamala pun menerima ajakan dan dakwah beliau. Sehingga tidak aneh kalau Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab hanya dua tahun tinggal di Haryamala (sepeninggal ayahnya) demi menyambut ajakan dan tawaran Amir negeri Uyainah, Utsman bin Ma'mar untuk tinggal di negeri Uyainah, negeri kelahiran beliau.Amir Uyainah, Utsman bin Muhammad bin Ma'mar sangat gembira dengan kedatangan beliau. Bahkan dia berkata kepada Syaikh, "Tegakkanlah dakwah di jalan Allah dan kami senantiasa akan membantumu." Maka mulailah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sibuk dengan urusan dakwah, ta'lim, serta mengajak manusia kepada kebaikan dan saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga dalam waktu yang cukup singkat nama beliau sudah masyhur di kalangan penduduk Uyainah. Mereka datang ke tempat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab untuk thallabul ilmi, bahkan penduduk negeri sebelah pun datang ke Uyainah untuk belajar kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.Pada suatu hari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menemui Amir Uyainah. Beliau berkata, "Wahai Amir (Utsman bin Muhammad bin Ma'mar), izinkanlah saya untuk menghancurkan kubah Zaid bin Khathab, karena sungguh kubah tersebut dibangun dalam rangka menentang syari'at Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Allah Ta'ala tidak akan ridha selama-lamanya dengan amalan tersebut. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah melarang dijadikannya kuburan sebagai masjid. Kubah Zaid ini telah menjadi fitnah bagi manusia dan mengubah aqidah mereka. Oleh karena itu wajib bagi kita menghancurkannya."Kemudian Amir Uyainah menjawab, "Silakan kalau engkau memang menghendaki yang demikian itu." Lalu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab memohon kepada Amir Uyainah agar beliau dibantu oleh tentara Uyainah, karena ditakutkan akan adanya perlawanan dari penduduk desa Jabaliyah, desa terdekat dari kubah Zaid bin Khathab.Maka keluarlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab bersama 600 tentara Uyainah, dan di tengah-tengah mereka ada Utsman bin Muhammad bin Ma'mar. Setelah penduduk Jabaliyah mendengar kabar bahwa Kubah Zaid bin Khathab akan dihancurkan, maka serempak mereka berniat mempertahankan kubah tersebut. Tapi kubah Zaid bin Khathab yang sudah lama mereka agung-agungkan dan sembah, berhasil dihancurkan. Demikian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, beliau selalu memberantas hal-hal yang berbau syirik dan hal-hal yang mengarah kepada kesyirikan.Beliau pun menegakkan hukuman had (hukuman cambuk, rajam, atau potong tangan bagi yang berhak). Sehingga, sampailah berita tentang beliau ini ke telinga Amir Al-Ahsaa', yakni Sulaiman bin Urai'ir al-Khalidi, dan para pengikutnya dari bani Khalid. Kabar yang dipahami oleh mereka bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah orang yang suka menghancurkan kubah dan suka merajam wanita. Akhirnya dia berkirim surat kepada Amir Uyainah agar Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dibunuh. Kalau tidak, maka dia tidak akan menyerahkan pajak emas yang biasa diberikan kepada Amir Uyainah dan dia pun akan menyerang negeri Uyainah.Rasa cemas pun menghantui diri Amir Uyainah. Akhirnya dia menemui Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab seraya berkata, "Wahai Syaikh sesungguhnya Amir Al-Ahsaa' telah menulis surat kepadaku begini dan begini. Dia menginginkan agar kami membunuhmu. Kami tidak ingin membunuhmu! Dan kami pun tidak berani dengan dia. Tiada daya dan upaya pada kami untuk menentangnya. Oleh karena itu kami berul-betul mengharap Syaikh agar sudi meninggalkan negeri Uyainah ini."Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata, "Wahai Amir, sesungguhnya apa yang aku dakwahkan ini adalah agama Allah dan realisasi kalimat La ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Maka barangsiapa yang berpegang teguh dengan agama ini serta menegakkannya di bumi Allah ini, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menolongnya dan memberinya kekuatan serta menjadikan dia sebagai penguasa di negeri para musuhnya. Jika engkau bersabar dan beristiqamah serta mau menerima ajaran ini, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menolongmu, menjagamu dari Amir Al-Ahsaa', dan yang lainnya dari musuh-musuhmu, serta Allah Ta'ala akan menjadikanmu sebagai penguasa atas negerinya dan keluarganya."Kemudian Amir Uyainah berkata lagi, "Wahai Syaikh, sesungguhnya kami tiada daya dan upaya untuk memeranginya dan kami tiada mempunyai kesabaran untuk menentangnya." Maka tiada pilihan lain bagi Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahab, kecuali harus keluar dan meninggalkan negeri Uyainah, kampung halaman beliau sendiri.Tempat yang paling cocok dan sesuai bagi kelancaran dakwah beliau selanjutnya adalah negeri Dir'iyyah. Hal ini karena negeri Dir'iyyah semakin hari semakin kuat dalam hal ketentaraan. Terbukti dengan direbutnya kembali kekuasaan yang selalu dirongrong oleh Sa'd bin Muhammad, pemimpin Bani Khalid. Di sisi lain, hubungan antara para pemimpin Dir'iyyah dengan pemimpin Bani Khalid kurang harmonis. Maka di saat pemimpin Bani Khalid bersekongkol dengan Amir Uyainah untuk mengeluarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, di saat itu pula Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ingin bergabung dengan para pemimpin Dir'iyyah.Tapi sebab yang terpenting kepergian beliau menuju negeri Dir'iyyah adalah karena dakwah yang beliau sebarkan selama ini mendapat sambutan yang hangat dari para pemimpin negeri tersebut. Di antara mereka adalah keluarga Suwailin, kedua saudara Amir Dir'iyyah (Tsinyan dan Musyairi), dan juga anaknya yang bernama Abdul Aziz.Di saat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berada di rumah keluarga Suwailin, datanglah Amir Dir'iyyah Muhammad bin Sa'ud atas anjuran istrinya untuk menyambut kedatangan Syaikh Muhammad. Akhirnya terwujud suatu kesepakatan bersama untuk saling beramal dalam upaya menegakkan dakwah Islamiyah semaksimal mungkin. Dan kesepakatan inilah yang nantinya sebagai asas dan pondasi bagi berdirinya Daulah Jadidah (Saudi Arabia).Sebagian dari para penulis ada yang berpendapat bahwa dari kesepakatan itu pula tercetuslah suatu pernyataan, urusan pemerintahan dipikul oleh Muhammad bin Sa'ud dan keturunannya, sedang urusan agama (diniyyah) di bawah pengawasan dan bimbingan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab beserta keturunannya. Namun nampaknya pernyataan yang seperti ini belum pernah ada, hanya saja kebetulan keturunan Muhammad bin Sa'ud sangat berbakat dalam mengendalikan urusan pemerintahan, demikian juga keturunan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sangat mumpuni untuk melanjutkan perjuangan beliau, sehingga hal ini terkesan sudah diatur sebelumnya, padahal hanya kebetulan saja.Demikianlah, Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahab dan Amir Dir'iyyah berada di atas kesepakatan yang telah mereka sepakati bersama sampai mereka pergi ke Rahmatullah. Dan selanjutnya diteruskan oleh keturunan mereka masing-masing di kemudian hari. [berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar